"Saya tidak tahu ayah akan membawa kami ke sini. Saat masih bersekolah, saya bercita-cita menjadi dokter dan saya sangat senang belajar."
CITA-CITA Nada Fedulla menjadi dokter harus kandas. Oleh ayahnya, ia bersama ibu dan neneknya dibawa pergi keluar dari Indonesia menuju Suriah pada 2015. Nada, dan mungkin juga seluruh anggota keluarganya yang lain, agaknya tak menyadari jika sang ayah mengajak mereka bergabung dengan satu organisasi teroris internasional yang tengah jadi musuh dunia.
Kepada Quentin Sommerville dari BBC, Nada mengaku saat itu tidak tahu akan dibawa ke mana. Namun, begitulah yang terjadi selanjutnya. Mereka berbaiat pada ISIS dan hidup dalam wilayah kekuasaan negara impian tersebut. Nada turut menyaksikan kekejian demi kekejian yang dilakukan ISIS atas nama agama.
Ketika kemudian ISIS kalah, Nada bersama ribuan "warga negara" ISIS lainnya menjadi pengungsi dalam kamp-kamp pengungsian di al-Hawl, Suriah Utara. Nasib mereka menggantung dan terkatung-katung. Nada mengaku sangat lelah, dan ingin kembali ke Indonesia.
"Saya sangat lelah di sini," ucapnya sembari berlinang air mata. "Jadi saya akan sangat berterima kasih jika ada orang yang ..."
Nada tak mampu melanjutkan kata-katanya. Air matanya tumpah.
"[Mau] memaafkan Anda?" Quentin Sommerville coba menegaskan.
"Ya." Jawab Nada lirih. Pandangannya kosong.
Korban Idealisme Orang Tua
Nada harus turut menanggung "dosa" yang dilakukan ayahnya. Cap sebagai anggota ISIS telah melekat padanya, seturut keikut-sertaannya pindah ke Suriah. Padahal, besar kemungkinan Nada masih kecil saat diajak "hijrah" empat-lima tahun lalu. Pun, ia tak tahu akan diajak ke Suriah. Kalaupun tahu, apakah ia paham akan dibawa bergabung dengan organisasi teroris?
Nada terbawa hingga ke Suriah tanpa paham apa yang ia lakukan. Yang ia tahu hanyalah diajak sang ayah pergi. Entah kemana dan tujuannya apa, sebagai anak Nada hanya bisa mengekor. Kalau ia tahu kepergian tersebut bakal membuatnya gagal meraih cita-cita sebagai dokter, saya ragu ia tetap mau ikut.