NAMA Muthia Datau rasanya lebih dikenal generasi milenial sebagai seorang aktris. Terutama setelah ia menjadi salah satu pemeran film horor Titisan Setan produksi Intercept Fim yang tayang di bioskop pada Maret 2018 lalu. Padahal di era '70 hingga '80-an namanya begitu harum sebagai kiper wanita favorit.
Menilik catatan kariernya, tidak berlebihan rasanya menyebut Muthia Datau sebagai pesepak bola wanita terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
Muthia lahir di Lampung, 12 Agustus 1959. Ia telah bermain sepak bola sejak kecil. Ketika berusia 14 tahun, tetangga rumahnya yang seorang pelatih sepak bola wanita mengajaknya bergabung ke Buana Putri, klub sepak bola wanita terbesar saat itu.
Wanita bernama panggilan Muti ini mengiyakan ajakan tersebut. Perjuangan berat pun dimulai. Butuh waktu dua tahun baginya untuk menembus skuat inti Buana Putri.
Begitu memperoleh posisi kiper utama, pengagum Yudo Hadianto ini selalu menjadi pilihan pertama pelatih. Posisinya tak tergoyahkan di bawah mistar gawang. Ia segera menjadi kiper favorit yang dielu-elukan setiap kali bertanding.
Sayang, waktu itu belum ada kompetisi sepak bola wanita. Muti dan klubnya hanya berlaga di pertandingan eksibisi atau kejuaraan amatir. Kompetisi resmi baru bergulir di tahun kelimanya menjadi pesepak bola.
Bermain bagus di klub membuat Muti direkrut timnas. Ajang pertama yang ia ikuti bersama timnas adalah Asian Women Football 1977 di Taiwan. Walaupun harus mengawali turnamen dengan gawang Muti kebobolan lima gol melawan tuan rumah, Indonesia pulang membawa medali perunggu.
Kiprah Muti bersama timnas wanita di Asian Women Football 1977 terdokumentasi dengan baik di laman RSSSF.com. Saya harap PSSI juga mempunyai catatan serapi ini untuk setiap pemain sepak bola negeri ini. Atau setidak-tidaknya pemain-pemain yang pernah membela timnas.
Meski terbilang sukses, namun karier Muti di sepakbola tak sepenuhnya didukung keluarga. Takut anaknya jadi semakin tomboi, ibunda Muti memintanya ikut ajang pemilihan Abang None Jakarta Barat 1978.
Eh, secara tak terduga ia malah terpilih sebagai None Jakarta Barat. Lalu disusul gelar juara kedua di pemilihan tingkat propinsi, di mana ia dinobatkan sebagai None Jakarta.