Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Perjumpaan dengan Amina Sabtu, Fatmawati-nya Tidore

18 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 19 Juli 2018   17:26 3499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Almarhumah Nenek Amina Sabtu saat saya kunjungi pada 17 Agustus 2017 di kediamannya, Kelurahan Mareku, Kec. Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan. FOTO: Eko Nurhuda

Coba kita kilas balik sejenak. Hingga bertahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan wilayah timur Indonesia masih dikuasai tentara asing. Awalnya pasukan Sekutu, lalu tentara NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie), badan administrasi Belanda lengkap dengan seorang pejabat Gubernur Jenderal.

Kerajaan Belanda menganggap nihil proklamasi Soekarno-Hatta. Tidak ada itu Republik Indonesia, daerah ini masihlah Hindia Timur milik Belanda. Arsip Belanda mencatat nama Hubertus Johannes van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur periode 1942-1948.

Di tengah-tengah dominasi Belanda tersebut, Abdullah Kadir dan Amina Sabtu muda berani membuat dan mengibarkan bendera merah putih. Bayangkan! Jangan kata mengibarkan bendera merah putih, mengucap "Merdeka!" saja di masa itu sudah cukup sebagai alasan ditangkap tentara Belanda.

Rasa lelah dan kantuk saya sontak hilang. Saya semakin tak sabar berjumpa Nenek Amina. Saya bahkan sudah membayangkan bagaimana beliau dengan berapi-api menceritakan apa yang dilakukannya pada Agustus 1946 lalu.

Setelah singgah sejenak di Tomalou untuk memotret bulan purnama di atas Pulau Mare--penduduk setempat menyebutnya sebagai Pulau Buaya, kira-kira 20 menit kemudian kami tiba di Mareku. Sepi sekali di sana. Hari memang sudah malam.

Rumah tujuan kami terletak persis sebelum jalan menurun. Di sisi timur jalan ada semacam pos ronda, kosong. Di belakangnya, agak tinggi di atas, terlihat rumah yang pintunya terbuka. Cahaya lampu terpancar dari dalam ruangan.


Kami semua turun dari bak mobil. Satu per satu menaiki tangga batu menuju ke teras rumah. Seorang pemuda gempal berkaus dan berpeci sama hitam menyambut kami. Senyumnya tertahan ketika berkata, "Silakan, silakan. Nenek ada di dalam." Belakangan saya ketahui namanya Olan, salah satu cucu Nenek Amina.

Masuk ke ruang tamu, seorang nenek tampak duduk di kursi plastik merah muda. Berpakaian hijau lumut dipadu kain bermotif kembang-kembang, di kepalanya terikat kain putih sebagai penutup. Tatapan tajamnya lekat memandangi kami satu per satu.

Inilah Nenek Amina Sabtu. Orang Mareku biasa memanggilnya Nenek Na, ada juga yang menyebutnya Nenek Bandera. Sedangkan budayawan Maluku, Sofyan Daud, dalam artikelnya di Malut Post edisi 17 Agustus 2015 menyebut Amina Sabtu sebagai Fatmawati-nya Tidore.

Di belakang Nenek Amina berdiri tiga pemuda lain. Saya tidak sempat menanyai nama mereka satu-satu, namun yang oleh Olan dipanggil Ipul rupanya ketua pemuda setempat. Pemuda-pemuda Mareku yang kini di bawah koordinasi Ipul itulah yang setiap 18 Agustus menggelar upacara di tanjung tak jauh dari sana. Tanjung tempat almarhum Kakek Dullah mengibarkan bendera merah putih buatan Nenek Na.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun