Berprestasi? Nah, ini yang jawabannya sulit dicari. Terlebih jika yang jadi patokan prestasi di Eropa. Dari 23 nama yang didaftarkan Jurgen Klinsmann, hanya Dempsey yang punya torehan lumayan semasa berkiprah di Benua Biru. Gelandang asal negara bagian Texas ini ikut mengantar Fulham ke final Europa League 2010, lalu dua musim berikutnya berturut-turut terpilih sebagai Fulham Player of the Season (2010/11 dan 2011/12).
Bradley yang dijadikan kapten tim oleh Klinsi malah tak punya catatan apa-apa di Eropa. Ia "hanya" menang pengalaman, berpetualang di empat liga top dunia. Diawali dari mencicipi Eredivisie bersama SC Heerenveen (2006-2008), lalu pindah Bundesliga ketika diikat Borussia Monchengladbach (2008-2011).
Sempat mencicipi Premier League sebentar ketika dipinjamkan ke Aston Villa di paruh kedua musim 2011/12, Bradley kemudian pindah ke Serie A. Ia memperkuat Chievo selama musim 2011/12, sebelum hengkang ke AS Roma musim berikutnya. Dua musim bersama Tim Serigala Ibukota, Bradley dijual ke Toronto FC. Kembali bermain di MLS.
Kalau gelar domestik ikut dihitung, ada Gyasi Zardes yang pernah meraih trofi MLS Cup 2014 dan MLS All-Star 2015 bersama LA Galaxy. Bek Matt Besler juga punya koleksi gelar MLS Cup 2013 bersama Sporting Kansas City. Paling keren tentu Kyle Beckerman. Gelandang berusia 34 tahun ini mengoleksi satu medali MLS Cup 2009, serta lima gelar MLS All-Star yang diperolehnya lima tahun berturut-turut selama periode 2009-2013.
Tapi, maaf, MLS kan liganya pemain pensiunan? MLS Cup rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Copa del Rey yang trofinya pernah diraih Lionel Messi dan Javier Mascherano. Atau Coppa Italia yang pernah dimenangkan Gonzalo Higuain bersama Napoli. MLS All-Star juga tidak bisa dibandingkan dengan gelar FIFA Balon d'Or yang lima kali diberikan pada Messi. Pendek kata, level kualitas kedua kompetisi berbeda jauh.
Eit, jangan lupakan asas bola itu bundar. Meski di atas kertas Argentina terlihat mendominasi, segalanya masih mungkin terjadi di atas lapangan hijau.
Bradley cs. tentu tahu 21 tahun lalu pendahulu mereka pernah membungkam Argentina di ajang sama. Dengan kondisi skuat yang lebih pas-pasan. Di tengah prediksi yang menempatkan Amerika sebagai underdog alias pasti kalah. Di bawah sikap meremehkan calon lawan yang menurunkan banyak pemain cadangan.
Ini adalah motivasi tambahan bagi skuat The Yanks, selain dukungan penuh suporter di rumah sendiri. Jadi, siap-siap saja mendapat kejutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H