MASIH tentang kasus Yuyun, seorang remaja siswi SMP yang mati dibunuh setelah diperkosa ramai-ramai oleh 14 pemuda. Kejadian ini terang saja membuat saya sebagai bapak seorang anak perempuan merasa ketar-ketir dan turut kuatir. Anak saya masih 5 tahun memang, tapi kekhawatiran tersebut tetap saja hinggap di hati.
Segera saja saya teringat seorang teman di Padangsidimpuan. Anak pertamanya seorang perempuan yang menarik dipandang, putih bersih seperti ibunya yang cantik. Setiap hari teman saya ini rela mengantar-jemput anaknya berangkat ke dan pulang dari sekolah. Padahal sekolahnya tak jauh dari rumah mereka. Dan anaknya masih SD kelas 1.
Iseng saya tanya alasannya, karena bagi saya cukup baginya melihat si anak berangkat dari pekarangan rumah. Pagar sekolah anaknya terlihat jelas dari pekarang rumah teman saya ini. Jawaban dia, "Saya khawatir. Kita tak pernah tahu apa yang akan menimpa kita di tengah-tengah masyarakat seperti ini. Lebih baik mencegah daripada mengobati." Kurang-lebih begitu.
Awalnya saya merasa itu jawaban lebay. Tapi setelah saya punya anak perempuan dan melihatnya tumbuh besar menjadi gadis kecil nan centil, saya rasa pendapat teman saya itu ada benarnya. Lebih baik berjaga-jaga ketimbang menyesal di kemudian hari.
Tapi saya bukan ahli hukum, jadi tak akan memberikan pandangan hukum mengenai kasus ini. Pun saya bukan ahli sosiologi maupun psikologi. Meski secara umum saya paham karakteristik masyarakat Rejang Lebong atau Curup yang hampir mirip dengan beberapa daerah di tempat asal saya, Jambi dan Palembang, tapi saya merasa tak punya kompetensi membahas soal itu.
Di-blow Up Media Sosial
Satu hal yang lebih menarik perhatian saya adalah rentang antara terjadinya kasus ini dengan perhatian media nasional yang ternyata berjarak nyaris sebulan penuh. Ya, Yuyun dicegat 14 pemuda mabuk ini pada 2 April 2016. Lalu tanggal 4 April 2016 mayat korban ditemukan. Selang enam hari 12 tersangka ditangkap polisi.
Media-media lokal di Bengkulu mengulas tuntas kejadian ini, tapi media nasional masih terus sibuk dengan drama politik Ibukota, juga kasus-kasus nasional yang dianggap "lebih penting" dari kematian seorang remaja di sebuah desa kecil nun jauh di Sumatera.
Nyaris tak terdengar, kasus ini baru mencuat setelah pengguna media sosial ramai-ramai meminta pelaku dihukum maksimal: hukuman mati! Ini menyusul tuntutan polisi yang hanya menjerat ke-14 pelaku dengan pasal dalam UU Perlindungan Anak yang hukuman maksimalnya 15 tahun penjara. Tuntutan lain adalah mendorong adanya perhatian lebih besar terhadap kasus ini.
Menggunakan tagar #NyalaUntukYuyun, grafik kicauan tentang Yuyun semakin meningkat. Data Spredfast mencatat sebanyak lebih dari 1.800 kicauan tentang Yuyun dengan tagar #NyalaUntukYuyun terbit pada akhir pekan lalu.
Seiring berjalannya waktu, isu ini menjadi semakin viral dari satu media sosial ke media sosial lainnya. Barulah media massa nasional tergerak untuk menangkap isu ini sebagai berita. Sejak itulah kasus Yuyun tak lagi berlingkup Rejang Lebong atau Bengkulu saja, tapi sudah jadi isu nasional. Bahkan sejumlah media internasional turut mengangkat kejadian ini.