OKTOBER ini genap 3 bulan usia kepengurusan PSSI hasil Kongres Luar Biasa di Solo, 9 Juli lalu. Meski tak pernah mencanangkan program 100 hari pertama seperti saat SBY terpilih sebagai presiden pada Oktober 2009, nyatanya kiprah awal Djohar sama mengecewakannya dengan pemerintahan SBY. Pada KLB Solo, Prof. Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015 dengan suara mutlak. Ia ditemani Farid Rahman sebagai Wakil Ketua Umum, dan sembilan anggota komite eksekutif. Harapan tinggi menyertai terpilihnya Djohar. Setelah delapan tahun yang suram di bawah komando Nurdin Halid, publik menginginkan perubahan di tubuh PSSI. Sosok Djohar yang bersih, latar belakangnya sebagai akademisi olah raga, serta pengalaman lengkapnya di gelanggang sepak bola merupakan modal komplet untuk memimpin perbaikan. Sayang, alih-alih mewujudkan harapan pemilihnya, Djohar cs. justru kerap mengeluarkan kebijakan kontroversial nan kontraproduktif. Sampai dengan 100 hari pertama sejak dipilih, hanya pengurangan kuota pemain asing yang bisa diacungi jempol. Selebihnya, merah semua! Merusak Timnas ‘Gebrakan’ pertama Djohar adalah sebuah blunder. Saat timnas bersiap menghadapi Turkmenistan di Pra-Piala Dunia 2014, Alfred Riedl yang sudah sehati dengan pemain diganti secara sepihak tanpa alasan jelas. PSSI memang kemudian menjelaskan alasan pemecatan itu, yakni Rield dikontrak oleh Nirwan Bakrie secara pribadi, bukan oleh federasi. Namun fakta yang dibeberkan Riedl setelah itu justru menunjukkan sebaliknya. [caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Qatar vs Indonesia, jadi korban kisruh elite PSSI."][/caption] Alhasil timnas kalang-kabut. Persiapan yang disusun Riedl sejak awal 2011 menguap begitu saja. Bambang Pamungkas dkk. terpaksa memulai persiapan dari nol lagi. Beda pelatih jelas beda gaya dan strategi yang diterapkan. Setali tiga uang dengan pemain, sebagai pelatih baru Wim Rijsbergen pun butuh adaptasi karena buta kekuatan timnas. Oke, timnas memang mampu melewati hadangan Turkmenistan. Namun hasil ini tak lepas dari peran seorang Rahmad Darmawan yang kala itu mendampingi Wim sebagai asisten pelatih. Wim yang hanya 6 bulan melatih di LPI jelas kesulitan meramu timnas yang diisi pemain-pemain LSI. Ketika RD dipindah-tugaskan ke timnas U-23, nampaklah hasil kerja Wim yang sebenarnya. Setelah imbang 1-1 dengan timnas U-23, lalu menang besar 4-1 dari Palestina, timnas mandul dalam 4 partai beruntun! Mandulnya timnas dimulai sejak kalah 0-1 dari Yordania dalam laga uji coba di Amman, disusul skor telak 0-3 saat dijamu Iran, kemudian kalah lagi 0-2 dari Bahrain di Jakarta, dan ditutup hasil seri 0-0 ketika beruji coba dengan Arab Saudi di Kuala Lumpur. Untung saja timnas mampu mengakhiri puasa gol di partai ketiga Prakualifikasi Piala Dunia 2014. Meski kembali kalah di kandang sendiri, kali ini dari Qatar, dua gol Cristian Gonzales plus permainan ngotot timnas cukup mengobati kekecewaan suporter. Cuma nampaknya 2 gol Crisgo tersebut jadi gol terakhir Indonesia di PPD 2014. Melawat ke Qatar pada 11 November 2011, timnas kembali mandul. Debakrieisasi Sudah jadi rahasia umum kalau keluarga Bakrie adalah seteru bisnis terbesar Arifin Panigoro, sponsor utama Djohar cs. Perseteruan melebar ke sepak bola saat Arifin menggagas LPI. Ketika PSSI era Nurdin Halid yang disokong Bakrie menjegal langkah bos Medco ini di Kongres Pekanbaru, ‘perang’ yang sesungguhnya pun dimulai. Nama Arifin Panigoro memang kemudian dilarang masuk bursa pencalonan oleh FIFA. Tapi publik tak akan pernah lupa betapa ngototnya kubu Jenggala mengegolkan duet Arifin-George Toisutta. Ketika akhirnya sadar seluruh upaya mereka sia-sia, barulah kelompok Jenggala berpikir realistis. Djohar pun didorong sebagai calon ketua umum baru dari kelompok ini. Sokongan penuh Jenggala membuat Djohar naik ke kursi PSSI 1 dengan mulus. Saat itulah aksi balas dendam terhadap kubu Bakrie dilancarkan Arifin melalui PSSI. Satu per satu pengurus lama yang memiliki kaitan erat dengan Bakrie dicopot. Iman Arief, Joko Driyono, dan bahkan Riedl hanya tiga contoh korban pertarungan ego tersebut. Padahal tenaga, pikiran, dan pengalaman mereka masih sangat dibutuhkan PSSI. Kacaunya liga dan terhambatnya proses naturalisasi sejumlah pemain jadi buah dari tindakan emosional ini. Merusak Kompetisi Rapor paling jeblok Djohar cs. ada di pengelolaan kompetisi. Sikap LPI-sentris membuat PSSI tega mengkhianati klub-klub LSI yang telah bersusah payah mengarungi kompetisi musim lalu. LSI dibubarkan, dan hasil kompetisi musim lalu diabaikan. Karena liga dimulai dari nol lagi, pesertanya pun didaftar ulang. PSSI menggelar verifikasi yang tak beda dengan dagelan. Hasilnya menggelikan. Di mana lagi ada tim degradasi terbaik dipromosikan ke level teratas kalau bukan di Indonesia? Format liga sempat berubah-ubah. Dari tetap satu wilayah dengan peserta lebih banyak dari musim lalu, lantas jadi dua wilayah dengan 32 peserta, kembali ke satu wilayah dengan peserta 18 klub, sampai akhirnya ditetapkan menjadi satu wilayah dengan 24 peserta. Pengalihan pengelola liga secara sepihak dari PT Liga Indonesia ke PT Liga Prima Indonesia kian memperjelas sikap LPI-sentris PSSI. Catatan buruk ini masih disusul dengan pemutusan kontrak pemegang hak siar liga (lagi-lagi) secara sepihak. Ketika liga resmi dimulai, lelucon lain disajikan. Dengan menjadikan perhelatan SEA Games di Jakarta dan Palembang sebagai alasan, hingga November liga hanya menggelar satu laga per pekan. Bayangkan sendiri kapan liga yang dinamai Indonesian Premier League, yang berarti Liga Primer Indonesia (LPI), ini rampung. Aksi mogok 14 klub membuat persoalan kompetisi bertambah runyam. Baru 100 hari berjalan kepengurusan Djohar sudah tampak tak meyakinkan. Mau dibawa ke mana sepak bola nasional jika kepengurusan model begini tetap bertahan hingga 4 tahun ke depan? Eko Nurhuda, follow me @bungeko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H