Mohon tunggu...
Dody Halim
Dody Halim Mohon Tunggu... -

Pencinta Kaum Miskin yang Pantang Menyerah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa yang Salah dengan (zakat dan) Kita?

15 April 2011   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hakekatnya, zakat adalah  sebuah solusi yang dikembangkan sejak jaman Rasulullah SAW untuk menyeimbangkan proporsi penikmatan nikmat ALLAH SAW antara si empunya (muzakki) dengan kaum fakir dan miskin utamanya (mustahik). Melalui zakat sebenarnya Allah SWT dan Rasulnya  ingin mengajak kita lebih memahami bahwa kenikmatan/kelebihan harta yang ada pada diri kita bukan semata ada karena kita mengusahakannya, tapi didalamnya juga karena ada campur tangan Sang Maha Pemberi, Allah SWT. Allah SWT ingin kita sempurna dalam menjalani kehidupan social. Tidak hanya soal bagaimana mengurus diri kita sendiri, tetapi juga bagaimana mengurus orang lain melalui banyak hal dari diri kita. Karena itulah kemudian Allah SWT menciptakan kelebihan dan kekurangan di diri kita semua sebagai manusia. dan kelebihan-kelebihan yang diberikan disebagian dari kita sebaiknya dimanfaatkan untuk juga menutupi kekurangan-kekurangan yang ada pada diri saudara kita yang lain. Janganlah sampai kemudian hanya untuk menumbuhkan rasa berbagi kita harus diperangi dulu, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar As-Shidiq pada masanya. Na’uzubillah…

Apa yang terjadi dengan kondisi kita sekarang sungguh memilukan. Ribuan orang berdesakan dalam sebuah acara pemberian sedekah, yang menyebabkan 21 orang meninggal “sia-sia” di Pati September 2009 lalu, hanya untuk memperoleh sekantung paket sembako dan belasan ribu rupiah dari seorang yang dilebihkan hartanya oleh Allah SWT. Lihatlah disekitar kita berapa banyak “tongkrongan” remaja-remaja putus sekolah yang bergabung dengan lulusan pengangguran. Yang kemudian berakhir pada satu hal; putus asa. Menjadi gila atau berbuat nekat untuk mempertahankan hidup, dengan narkoba atau tindakan criminal adalah pilihan paling rasional yang ada dalam pikiran mereka. Atau tengoklah, berapa banyak orang-orang yang mengais makan dari tempat-tempat sampah mewah disekitar mereka lalu tidur bergantian dalam gerobak yang seadanya. Atau bahkan “jiwa-jiwa” mati yang hidup ditanah pedesaan karena tak tahu harus berbuat apa dengan sumber daya ada disekitar mereka. Atau bahkan apa lagi….?

Apa yang ada dibenak kita? Hampir sama persis, merasa kasihan dan merasa tak berdaya untuk mengubahnya. Sesuatu yang baik, namun sangat naïf. Karena itulah gambaran sebagian dari saudara-saudara kita seiman dan sebangsa, suka atau tidak,  jumlah saudara-saudara kita yang sering disebut berada dibawah garis kemiskinan masih sangat banyak. Akhir tahun 2009 P2E-LIPI menyebut tahun 2010 angka kemiskinan di Indonesia akan mencapai 32,7 juta jiwa, atau BPS yang meliris bahwa Maret 2010 penduduk miskin Indonesia hanya 31,02 juta. Namun, berapapun angka pastinya, yang hingga saat ini masih diperdebatkan tetap saja tidak merubah angka puluhan juta saudara kita yang masih mengais dalam memenuhi standar manusia sederhana.

Saya tidak ingin membahas puluhan juta jiwa saudara-saudara kita yang sedang berharap uluran tangan kita. Saya hanya ingin bertanya, apa yang salah dengan negeri kita ? 86% lebih penduduk Indonesia adalah muslim, yang notabene seharusnya mengikuti jejak Rasulullah dalam pola kehidupannya, termasuk berbagi, yang kemudian disyariatkan menjadi zakat salah satunya. Andai saja kita berhitung, 50 juta muslim membayar zakat 100 ribu saja per bulan, berapa banyak jumlah yang dapat kita manfaatkan untuk “memapah” saudara-saudara kita keluar dari penyakit kemiskinan yang akhirnya berdampak pada penyakit jiwa dan sosial.

Terdengar naïf memang, bagaimana mengakomodasi 50 juta muslim pembayar zakat. Namun, sesungguhnya Rasulullah SAW sudah memberikan cara mudah dan efektif mengelola potensi ini, yaitu saat mengatakan bahwa kita harus mendahulukan membantu tetangga terdekat yang membutuhkan. Konsep fakir dan miskin menjadi tanggungjawab setiap pribadi terdekat inilah yang  sebenarnya dapat diterjemahkan dalam bentuk pengelolaan di kelompok masyarakat terkecil, seperti RT/RW atau bahkan kelurahan. Melalui pembinaan dan transfer informasi yang tepat, sumber daya manusia lokal dapat dididik untuk mengelola potensi zakat di lingkungannya secara benar dan tepat sasaran. Rasulullah SAW sebagai manusia mulia mengetahui benar konsep pemberdayaan yang tepat. Bahwa tetangga adalah yang paling mengetahui masalah apa saja ada di lingkungannya, serta jalan keluar apa yang harus diberikan. Karena itu zakat sebaiknya memang dimanfaatkan oleh lingkungan tempat dimana para muzakki berada. Sehingga, selain membangun hubungan sosial bermasyarakat, hubungan persaudaraan muslim juga semakin kuat. Keberadaan si kaya menjadi bermanfaat bagi si miskin. Sungguh indah dunia ini. Tidak akan terdengar lagi rintihan bayi yang kurang asupan, bahkan untuk air susu ibunya yang telah mengering. Tak akan ada lagi anak usia sekolah yang hanya berdiri diluar pagar sekolah karena tak sanggup membayar. Masyarakat akan menciptakan sendiri program-program untuk keberdayaan mereka sendiri.

Hanya saja memang, karena Indonesia adalah Negara hukum, maka kita perlu taat akan terhadap undang-undang tentang pengelolaan zakat yang ada. Karena itu pengelolaan zakat tingkat kelompok masyarakat terkecil ini perlu lembaga yang memayungi. Para muzakki akan diikat kewajibannya membayar zakat atas nama lembaga yang secara hukum mempunyai kekuatan, namun pengelolaan dan penyalurannya tetap berada di lingkungan para muzakki itu sendiri. Dengan seperti ini, kontrol atas pengelolaan uang zakat jauh lebih mudah bagi pembayar zakat (muzakki). System transparansi yang melahirkan kenyamanan menyalurkan zakat juga akan lahir dengan sendirinya.

Lalu, apakah ide seperti ini belum ada yang mencetuskan? Secara konseptual ada. Di tingkat kelurahan/desa sekarang ini terlihat papan nama badan amil zakat, infak, dan shodaqoh (bazis). Namun secara teknis sangat tidak mengakomodasi potensi yang ada tingkat bawah. Bazis kelurahan hanya mengakomodasi zakat, infak dan shodaqoh bagi pegawai di lingkungannya. Sama sekali tidak menyentuh potensi individu-individu yang di masyarakat seperti yang saya sebutkan diatas.

Kita mau/bisa apa? Banyak pilihannya. Tetap bayarlah zakat yang terpenting. Jika anda telah merasa nyaman menyalurkan zis anda melalui lembaga amil zakat (LAZ) yang ada, seperti, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, PKPU atau yang lainnya, teruskan saja. Bagi sebagian orang yang merasa telah memberikan langsung uang zakat, infak, shodaqohnya dengan berbagai pilihan cara tradisional  karena  memenuhi rasa kepuasan memberi cobalah untuk mulai mengelolanya dengan lebih baik. Bersama kita ciptakan gerakan koperasi zakat lingkungan.

Semoga apa yang kita lakukan merupakan bagian dari upaya kita memperoleh nilai lebih tinggi dari Allah SWT. Dan upaya menata zakat kita agar memberi manfaat yang lebih baik, sehingga tidak disalahkan di akhirat kelak karena tidak berzakat. Amiin. Wallahu alam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun