Oleh drh Chaidir
JOKOWI datang, Jokowi bertanding, Jokowi menang. Atau Ahok datang, Ahok bertanding, Ahok menang. Pasangan Jokowi-Ahok yang datang dari negeri antah berantah, langsung bertanding dan langsung menang. Jokowi-Ahok laksana Jenderal Romawi yang gagah perkasa, Julius Caesar, ketika mengucapkan Veni, Vidi, Vici, pada tahun 47 SM. Ungkapan yang sangat terkenal, dan melintasi zaman itu berarti "Aku datang, aku lihat, aku menang."
Veni, vidi, vici adalah frasa Latin, merupakan pesan singkat yang ditujukan oleh Sang Jenderal kepada Senat Romawi melalui kurir. Pesan itu tentulah tidak dikirim melalui SMS atau BBM. Julius Caesar hanya ingin menggambarkan kemenangannya atas Pharnace II dalam pertempuran Zela, yang dicapainya dengan mudah dan mutlak.
Jokowi dan Ahok tidak mencapai kemenangan dengan mudah dan mutlak. Mereka memerlukan dua putaran untuk memenangkan kompetisi. Namun siapapun yang mencermati kompetisi tersebut, tentu tidak keberatan menyebut, Jokowi-Ahok membuat sensasi pemilukada terasa beda. Kalah menang itu soal biasa. Tapi jalan yang ditempuh oleh Jokowi dan Ahok memenangkan pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 terasa fenomenal. Ibarat liga sepakbola professional di Eropa, Jokowi dan Ahok memang sudah terpantau memiliki talenta, tapi selama ini mereka baru teruji bermain dalam kompetisi level "tarkam" (antar kampung), bukan di divisi utama. Mereka memang diprediksi oleh beberapa pengamat suatu saat kelak akan jadi bintang, tapi tidak sekarang.
Tapi Jokowi-Ahok melakukannya sekarang, ketika Jakarta penuh dengan tokoh-tokoh nasional yang cemerlang, terbilang dan terpandang. Jokowi-Ahok bersama pemilih Jakarta, pada putaran pertama bahkan sempat mempermalukan prediksi semua lembaga survei independen yang selalu mengatakan hasil survei mereka memiliki tingkat presisi yang sangat tinggi. Kenyataannya semua meleset jauh. Sebenarnya, empat pemilukada di Riau pada 2010 lalu, telah memberi peringatan dini. Dalam pemilukada Walikota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Kepulauan Meranti, semua ramalan tim survey meleset.
Konon kambing hitam di Riau ketika itu, jago unggulan tidak melaksanakan dengan konsisten rekomendasi tim survey. Jago unggulan terlalu percaya diri. Atau sebaliknya, prediksi tim survey yang bagus sudah dianggap garansi untuk menang. Pembenaran itu agakya bisa diterima. Tapi untuk Jakarta beda. Faktor yang kelihatannya cukup berpengaruh adalah sikap Jokowi-Ahok yang bersahaja dan rendah hati.
Waktu akan membuktikan apakah Jakarta memang memerlukan seorang pemimpin yang "humble." Salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, adalah ketika Foke berlapang dada mengucapkan selamat kepada Jokowi. Foke nampaknya siap menang siap kalah, sesuatu yang belum tentu bisa dilakukan Jokowi.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H