Oleh drh Chaidir
ETNIS Melayu yang bermukim di sekitar wilayah semenanjung Asia Tenggara, seperti Riau, Kepulauan Riau, Malaysia, Singapura, Kalimantan Barat, Serawak, Brunei, sudah tak asing dengan Sumpah Hang Tuah, “Tak Melayu hilang di bumi”. Lengkapnya sumpah sang legenda Melayu itu berbunyi, “Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi.”
Sumpah itu, khususnya di Provinsi Riau seakan menjadi mantra umur panjang bagi daerah, menjadi menu wajib yang senantiasa dielaborasi pada setiap perayaan peringatan hari jadi daerah setiap tanggal 9 Agustus. Dengan mengumandangkan “tak Melayu hilang di bumi”, masyarakat merasa, Melayu tak akan pernah punah.
Dihadapkan dengan tesis siklus peradabannya Ibnu Khaldun, sebuah pertanyaan singgah tanpa basa-basi, tak akan (pernah) hilangkah Melayu di bumi? Ibnu Khaldun (1332-1406) sejarawan muslim terkenal, menyebut adanya siklus peradaban, sebuah peradaban itu mengalami masa pertumbuhan, berkembang, masa keemasan, kemudian terjadi pembusukan, dan selanjutnya runtuh hilang ditelan bumi.
Tanpa maksud membangun pesimisme, di bilik sejarah sangat banyak lembaran peristiwa yang patut menjadi renungan. Peradaban yang dibangun oleh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera (abad ke-7 - 15 Masehi), peradaban Majapahit yang berpusat di Pulau Jawa (1293-1500), peradaban Islam di Andalusia, Spanyol, hilang setelah eksis selama beberapa abad. Prof Aryso Santos, seorang ilmuwan Brazil, menulis sebuah buku yang mengejutkan dari hasil penelitiannya selama 30 tahun. Dalam bukunya yang diterbitkan pada 2009, “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization”, Santos menyebut pusat kerajaan Atlantis dari benua yang hilang itu adalah di wilayah Indonesia sekarang. Tentang Benua Atlantis ini, kendati dengan lokasi yang berbeda, pernah pula disebut ole filsuf Plato. Peradaban Atlantis ini raib dari muka bumi akibat letusan gunung berapi yang maha dahsyat di kutub dan kemudian diikuti dengan gempa bumi dan tsunami yang juga maha dahsyat.
Secara fisik sebuah peradaban dipahami terkubur karena bencana alam maha hebat. Tetapi runtuhnya peradaban dalam perspektif nilai, ini semata karena ulah manusia, karena perebutan harta dan tahta (kekuasaan). Kesultanan Riau Lingga misalnya, berdiri pada 1824, runtuh pada 1911, wilayah geografis kesultanan ini masih ada sampai sekarang. Kerajaan Islam Cordoba di Andalusia, Spanyol berdiri pada 756, runtuh pada 1013. Sampai sekarang wilayah Andalusia itu masih utuh.
Ketika Provinsi Riau didirikan pada 1957, agendanya jelas, pendiri provinsi ini ingin menyejahterakan masyarakatnya melalui kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mengejar ketertinggalan pendidikan dan pembangunan, dan ingin agar masyarakat terangkat marwahnya dengan menjunjung kebudayaan Melayu. Semangat yang ditunjukkan oleh para pendiri adalah semangat kebersamaan.
Pada peringatan hari jadi yang ke-54 Prov Riau tahun ini, semangat itu kelihatannya memudar, yang menonjol justru kepentingan sempit. Kejujuran, sopan santun dan kehalusan budi pekerti tinggal penghias bibir. Ibarat pohon besar, batangnya berlobang digerek kumbang, akarnya habis dimakan lundi. Kalau dibiarkan, maka sumpah Hang Tuah dan cita-cita pendiri provinsi tak lagi bermakna, dan akan menjadi kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa. Dirgahayu Riau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H