Oleh drh Chaidir
SUDAH menjadi kodrat kehidupan, umat manusia itu hidup berkaum-kaum. Serangkaian sifat dan kepentingan menyebabkan terbentuknya kafilah perbedaan yang sangat panjang. Suku, agama, ras, warna kulit, warna rambut, bahasa, hanya sebagian dari perbedaan yang tampak, selebihnya tak kelihatan. Karakter, pola pikir, akal budi, yang dibentuk oleh lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat tak terbaca di permukaan.
Begitulah adat manusia. Berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berkaum-kaum, berpuak-puak. Satu dan lainnya saling berkompetisi, bersaing bahkan berperang. Bellum omnium contra omnes, kata filsuf Thomas Hobbes. Manusia itu cenderung bersaing antara satu dengan lainnya. Karena apa? Karena ulah kepentingan. Sebenarnya, jauh sebelum Hobbes, Nabi Muhammad SAW, urutan pertama dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah, yang ditulis oleh penulis barat Michael H. Hart (1978), bersabda lebih tegas, bahwa manusia akan saling bertengkar satu dengan lainnya bahkan akan saling bunuh antara sesama saudara sekalipun karena memperebutkan harta dan kekuasaan. Postulat ini ternyata relevan sampai akhir zaman.
Namun bukan kehidupan namanya bila tak berpasang-pasangan. Perang-damai, pasang-surut, jatuh-bangun, pergi-pulang, hulu-hilir, kawin-cerai, berpisah-bersatu dan seterusnya berada dalam satu simfoni. Semuanya terpulang dan diperangkap oleh sang waktu. Kalau tak hari ini besok, kalau tak besok, lusa, pasangan itu akan menemukan jodohnya. Tembok kukuh kota Berlin pasca Perang Dunia II, yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat, dirubuhkan pada tanggal 9 November 1989. Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang dipisahkan oleh ideologi, bersatu pada tanggal 2 Juli 1976. Konflik berbau SARA di Aceh berakhir dengan damai pada 2005. Konflik horizontal di Maluku juga berakhir dengan damai, demikian juga konflik suku di Kalimantan. Nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan menyebabkan pedang-pedang yang telah terhunus kembali tersarung.
Kehidupan manusia itu agaknya sepantun kiambang, sejenis tumbuhan air yang mengapung pada permukaan air keruh dangkal dan tak mengalir. Tanaman itu berkembang biak dengan cepat, berebut simpati menutupi permukaan air dan memberi kehidupan sebagai tempat persembunyian ikan, namun kiambang sebenarnya rapuh. Kiambang dengan mudah dibuat bercerai-berai oleh perahu yang lewat, tetapi itu hanya sebentar. Ketika perahu berlalu, kiambang kembali bertaut bergandengan tangan.
Kearifan alam itu dibaca menjadi sebuah peribahasa, “biduk lalu kiambang bertaut.” Setelah bertengkar, dua saudara kembali bersatu. Itu jugalah agaknya yang patut dibaca oleh masyarakat Pekanbaru Riau pasca Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Pekanbaru 2011 yang secara amat sangat berlebihan telah menyita waktu, tenaga dan pikiran. Kini saatnya kita bersama kembali kepangkal jalan, menyatukan gerak langkah. Pemilukada hanyalah salah satu ikhtiar untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik. Ayo Bro!!
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H