Oleh drh Chaidir
FROM hero to zero, kira-kira begitulah realita yang dihadapi oleh maskapai penerbangan kita Riau Air Lines . Terjemahan bebasnya kira-kira, dulu hebat kini jatuh tapai. Sebuah ironi yang tak seharusnya terjadi.
Kementerian Perhubungan menyatakan sudah mencabut izin penerbangan PT Riau Air Lines. Pasalnya, maskapai milik Pememrintah Provinsi Riau itu tidak melakukan kegiatan angkutan udara selama satu tahun atau 12 bulan berturut-turut , serta tidak melaporkan tindakan-tindakan nyata demi mempertahankan kelangsungan maskapai tersebut. (Riau Pos 2/4/2012 halaman 1). Izin tersebut secara otomatis tak lagi berlaku terhitung 7 April 2012 beberapa hari lalu. Kenyataan pahit ini tentu saja membuat kita galau, apalagi maskapai tersebut didanai dengan APBD Riau dan APBD beberapa kabupaten/kota, bahkan terakhir beberapa provinsi lain juga ikut memodali RAL.
Beberapa hari lalu, dengan optimis, Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengatakan, Riau Air akan tetap dipertahankan. Salah satu pertimbangannya adalah mengingat perusahaan itu merupakan potensi besar yang dimiliki Riau sebagai sarana transportasi milik daerah. Langkah Utama yang dilakukan, Pemprov Riau sudah membentuk Tim Penyelamatan Riau Air. (Riau Pos, 7/4/2012 halaman 21, Pro Otonomi)
Pernyataan tersebut terasa aneh, karena Dirjen Perhubungan Udara, Kemenhub, Herry Bakti menyebut, jika Riau Air ingin terbang kembali tentu saja mengajukan izin baru lagi ke Kemenhub, karena izin lama sudah tidak berlaku lagi. "Pokoknya mengajukan izin baru," tegas Herry. (Riau Pos 2/4/2012 halaman 11 sambungan dari halaman 1). Adakah kemungkinan RAL akan berangkat lagi dari titik kilometer nol?
Gagasan awal, maskapai penerbangan RAL didirikan bukan untuk gagah-gagahan, tapi karena kebutuhan. Provinsi Riau memiliki potensi atas dasar kemampuan daerah (otda). Namun Riau menghadapi kendala sarana dan prasarana transportasi. Wilayah Provinsi Riau (sebelum pemekaran) sangat luas, mulai dari Kuantan sampai ke Siantan (Kepulauan Riau), mulai dari Tambusai di utara sampai ke Tembilahan di selatan. Moda transportasi darat dan laut sama sekali tak memadai, karena hambatan alam dan jarak yang sangat berjauhan.
Namun Riau beruntung telah memiliki sejumlah lapangan terbang perintis. Ada bandara Ranai di Natuna, Matak di Tarempa, Dabo Singkep, Tanjung Pinang, Tanjung Balai Karimun, Air Molek, Sungai Pakning, Dumai, dan Pasir Pengaraian, semua bisa didarati pesawat terbang. Pekanbaru dan Batam, sudah eksis sebagai bandara internasional (komersil). Dengan berdirinya maskapai RAL, Riau termotivasi pula untuk membangun lapangan terbang di Tembilahan.
Untuk merangkai tempat-tempat tersebut wajar bila Riau memiliki sebuah maskapai penerbangan dengan menggunakan pesawat-pesawat turbo-prop, pesawat jenis kecil dengan baling-baling. Apalagi diprediksi ekonomi masyarakat Riau yang berbasis perkebunan akan berkembang pesat. Kita ingin menunjukkan, kalau daerah diberi kesempatan, kita sanggup mengerjakannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Modal semangat itu pulalah yang menyebabkan Riau berhasil memperjuangkan hak pengelolaan ladang minyak CPP Block.
RAL sesungguhnya memiliki prospek bagus bila diurus secara profesional. Sayangnya, maskapai itu dijalankan secara biasa-biasa saja business as usual, padahal maskapai ini baru berdiri, dan dalam perjalanannya kemudian mengalami pendarahan akut. RUPSLB terakhir yang diselenggarakan pada 6 Juli 2011 lalu, memperlihatkan betapa RAL salah urus. Pemegang saham mayoritas dalam hal ini Pemprov Riau dan seluruh pemegang saham sepakat untuk segera melakukan penyelamatan perusahaan dan kembali menerbangkan RAL. PT Arus Utama ditunjuk oleh RUPSLB sebagai investor untuk melakukan penyelamatan RAL. Pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi dan PT Arus Utama, ditugasi oleh RUPSLB untuk berikhtiar dan menyusun kembali rencana bisnis (business plan).
Seharusnya, dalam kondisi maskapai yang sedang pingsan, agenda utama RUPSLB adalah menyetujui langkah penyelematan berupa program kerja fundamental yang telah disusun oleh tenaga ahli kelas dunia (world class colsultant). Kalau RUPSLB menyerahkan kepada sebuah tim yang terdiri dari Pemegang saham, komisaris, direksi dan PT Arus Utama untuk menyusun rencana bisnis, itu sebuah solusi yang sia-sia. Dalam kondisi yang sudah sekarat baru bentuk Tim Penyelamatan, tak ada gunanya lagi. Tenaga ahli kelas dunia memang sangat mahal, tetapi masalahnya, ingin mendapatkan rekomendasi yang instrumental untuk penyelamatan atau tidak? Ingat pesan pakar manajemen Peter Drucker, "Tak ada yang lebih sia-sia selain melakukan pekerjaan dengan efisien padahal pekerjaan itu sebetulnya tidak perlu dilakukan sama sekali."Rasanya RAL (mestinya sejak krisis pada 2008 lalu), memerlukan analisis obyektif dan rekomendasi yang tajam dari tenaga ahli kelas dunia, agar langkah-langkah penyelamatannya dipercaya oleh komunitas penerbangan. Saya pesimis Tim Penyelematan yang dibentuk sekarang, di samping sudah sangat terlambat, juga tidak akan menghasilkan langkah-langkah fundamental yang terpercaya. Sayonara RAL, sampai berjumpa pula.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H