Oleh drh Chaidir
BARANGKALI karena berbadan besar, leher dan kakinya panjang seperti unta, serta habitatnya di gurun pasir, maka burung terbesar di dunia yang masih hidup sampai sekarang itu dinamakan burung unta (Struthio camelus). Tingginya bisa mencapai 2,5 meter dengan berat 125 kg. Tak ada hubungan darah dengan unta, baik karena perkawinan secara sah, nikah siri, perselingkuhan, atau karena pelecehan seksual. Tidak. Burung Unta memang termasuk species burung. Tapi malangnya burung ini tidak bisa terbang. Badannya terlalu besar dan sayapnya terlalu kecil.
Konon diam-diam unta pernah mengajukan somasi agar namanya tak dicatut oleh burung besar dan jangkung itu. Masalahnya, menurut unta, tak ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari burung unta kecuali kemampuannya berlari cepat sampai 65 km/jam dan tendangan kakinya yang mematahkan tulang predator. Selebihnya citra yang terbentuk justru kebodohan: burung unta hewan yang bodoh. Oleh karena itu sang unta tak rela. Tapi tak ada kabar beritanya dengan somasi tersebut. Burung unta pun tenang-tenang saja, tidak tahu, tidak mau tahu, dan sebetulnya sama sekali tak akan pernah tahu.
Tapi dengan kebodohannya, burung unta telah ikut memberi kontribusi dalam dunia politik. Ini lebih baik dari unta yang tak pernah memberi kontribusi sama sekali. Mana ada politik unta? Unta biasanya hanya untuk pengangkut beban, hewan tunggangan, hewan kurban, atau diambil air susunya. Konon susu unta itu banyak khasiatnya. Burung unta telah memberi iktibar perilaku politik, yakni politik burung unta. Entah siapa yang menemukan, dan kapan, tak ada seorang pun yang tahu. Yang pasti istilah politik burung unta demikian saja sudah tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, dan tercantum pula dalam Kamus Politik B.N. Marbun, SH yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.
Menurut KBBI, politik burung unta adalah politik yang menganggap semuanya seolah-olah tak ada masalah. Penguasa atau politisi yang cenderung menganggap seolah-olah tak ada masalah padahal masalahnya bergudang-gudang, bolehlah disebut penguasa burung unta atau politisi burung unta. Marbun pula menyebut, politik burung unta, adalah politik yang tidak mau ambil kesulitan. Mungkin maksudnya politik cari aman.
Darimana asal analogi tersebut? Usut punya usut, konon, burung unta jika menghadapi bahaya, misalnya dikejar oleh hewan predator atau pemburu, dia akan lari kencang memanfaatkan kakinya yang panjang dan kokoh, kemudian dia bersembunyi, dengan menyurukkan kepalanya kedalam pasir atau ke dalam semak-semak. Burung unta berpikir, dengan menyembunyikan kepalanya, dia menganggap sudah aman dalam persembunyiannya. Dia lupa, badan besarnya dengan mudah terlihat oleh predator atau pemburu yang mengejarnya. Namun, tingkah laku bersembunyi ala burung unta ini, lebih banyak merupakan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat. Beberapa bacaan menyebut, perilaku itu belum terbukti secara ilmiah. Barangkali burung unta sengaja merendahkan kepalanya bila ada bahaya agar tidak menjadi sasaran tembak, bahkan sampai menyurukkan kepalanya ke bawah pasir. Atau, dengan merendahkan kepalanya, mungkin burung unta siap-siap melakukan serangan balik kepada musuh melalui tendangan karatenya yang mematahkan leher musuh. Bukankah manusia belum pernah menanyakan langsung kepada burung unta kenapa menyembunyikan kepala? Kalaulah benar burung unta menyembunyikan kepalanya untuk lari dari masalah, dia pasti terjebak dengan masalah lain. Itu jelas tidak menyelesaikan masalah.
Namun burung unta tidak seratus persen lebai. Ada perilaku yang patut ditiru dari burung unta seperti dimuat www.wikipedia.org, bahwa burung unta betina tidak membuat sarang sendiri-sendiri. Sarang mereka buat satu untuk bersama, beberapa ekor burung betina akan bertelur dalam satu sarang, untuk dierami oleh betina pada waktu siang dan jantan pada waktu malam. Mereka boleh diberi stigma politik bodoh oleh makhluk manusia, tetapi burung unta memiliki semangat solidaritas, semangat gotong royong, holopis kuntul baris.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H