Oleh drh Chaidir
SISTEM multi partai dianggap cocok untuk negara yang memiliki tingkat keanekaragaman budaya dan politik seperti Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang terbuka dan berpaham demokrasi, rakyat Indonesia terlalu besar dan terlalu majemuk untuk hanya diwakili oleh tiga kekuatan sosial politik seperti dimasa lalu.
Dengan aspirasi yang sangat bervariasi dan dilatarbelakangi oleh suku, agama, ras, dan pola hidup yang beraneka ragam, dan dinamika masyarakat yang tinggi, rasanya mustahil melakukan agregasi aspirasi secara sederhana. Aspirasi berkembang dengan sangat cepat seperti deret ukur. Namun demokrasi dengan sistem multi partai kelihatannya bukan satu-satunya pilihan bila ukurannya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata berupa kehidupan yang lebih baik. Sebab pada kenyataannya sistem pemerintahan presidensil yang telah menjadi pilihan bangsa sebagaimana digariskan dalam konstitusi kita, UUD 1945, kerepotan dengan sistem multi partai tersebut.
Partai politik yang mestinya adalah asset dalam sebuah bangsa yang berpaham demokrasi, seperti bangsa kita, justru telah menyandera bangsanya sendiri. Peran parpol yang berlebihan dan sangat demonstratif, telah menguasai simpul-simpul penting yang membuat bangsa ini tidak berdaya. Parpol yang seharusnya memberi kontribusi dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi bangsa justru sering menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Namun terlalu naïf bila kita mengatakan, masyarakat tidak butuh parpol. Membakar lumbung padi hanya untuk membunuh beberapa ekor tikus, bukan solusi. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan tidak ada pemilu tanpa partai politik. Partai politik adalah darahnya demokrasi.
Harus disadari, jumlah parpol yang banyak tidak relevan dengan demokrasi yang berkualitas. Namun, mengurangi jumlah parpol untuk membuat pemerintahan efektif dengan menggunakan pedang kekuasaan melalui fungsi pengaturan yang melekat pada Negara, bukanlah cara yang terpuji. Pengurangan itu harus alamiah oleh rakyat yang memiliki kedaulatan. Caranya adalah melalui pemilu yang luber dan jurdil. Rakyat tidak hanya dituntut cerdas menggunakan haknya dalam pemilu, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menentukan pilihannya.
Setelah rakyat menentukan pilihannya, maka ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold - PT) akan menjadi ukuran apakah perolehan suara sebuah parpol cukup untuk memperoleh kursi di parlemen atau tidak. PT adalah ambang batas perolehan suara minimal bagi partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen. Artinya, parpol yang memperoleh suara kurang dari persentase ambang batas, tidak berhak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD. Angka ambang batas itulah yang menjadi tarik ulur tak berujung pangkal dalam pembahasan revisi UU No 10 /2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dalam beberapa bula ini.
Ambang batas parlemen akan membuat sistem kepartaian kita menjadi lebih rasional Pertanggung jawaban partai akan menjadi lebih jelas. Kalau partai terlalu banyak, apalagi tidak ada pemenang mayoritas seperti sekarang, memudahkan parpol untuk melakukan politik buang badan alias saling lempar tanggung jawab.
Tentang Penulis : drh Chaidir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H