Oleh drh Chaidir
SUATU hari Si Baik ketemu Si Buruk. Keduanya, seperti ditulis pujangga Kahlil Gibran, sepakat mandi di laut. Mereka serentak melepas pakaian dan mulai berenang. Tak lama berselang, Si Buruk selesai duluan, dia ke darat langsung mengenakan pakaian si Baik dan begegas pergi. Si Baik yang selesai mandi kemudian, mendapati pakaiannya tidak ada, dan karena malu bertelanjang, dia terpaksa memakai pakaian Si Buruk.
Maka sampai saat ini, lanjut Kahlil Gibran, semua orang tidak bisa membedakan Si Baik dan Si Buruk. Namun ada beberapa yang ingat wajah Si Baik, mereka tahu tanpa memperhatikan pakaiannya. Dan bagi mereka yang tahu Si Buruk, pakaian ternyata tak dapat menyembunyikan wajahnya.
Kisah itu ditulis oleh seorang pujangga, terserah pembaca untuk memaknai. Kita tidak dapat meminta pertanggung jawaban atas sebuah karya sastra. Kita bebas memberi interpretasi, tak harus begini, tak harus begitu. Maka, bila Sang Pujangga dalam kisah tersebut berayun-ayun dalam wilayah simbol, sesungguhnya realitas yang kita temui di tengah masyarakat hari ini memang tidak jauh meleset. Kehidupan seringkali tak lagi hitam putih. Benar-salah tak lagi berseberangan secara diametris. Wilayah abu-abu melebar semakin luas. Atau semuanya serba pelangi. Dalam iya ada tidak, dalam angguk ada geleng. Tokoh-tokoh yang dihormati, dikagumi dan selalu menunjukkan sikap kedermawanan sosial yang tinggi, adakalanya ternyata tidak steril dari praktik-praktik mafia proyek, mafia anggaran, mafia hukum, upeti, atau praktik illegal lainnya. Atau sebaliknya, "candi-candi" yang dihujat hari ini karena pembangunannya tidak wajar dari segi harga dan proses, beberapa tahun mendatang akan dielu-elukan sebagai karya monumental.
Di tengah masyarakat anomie dewasa ini, ketika kita memperingati Hari Pahlawan, selalu saja muncul sebuah pertanyaan, seperti apa sosok seorang pahlawan itu sekarang? Masihkah nilai-nilai kepahlawanan itu relevan untuk dipertanyakan? Atau barangkali sudah tak ada lagi pahlawan? Sulit membuat kriteria. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Di masa perang, pahlawan agaknya mudah diidentifikasi. Mereka yang bertempur dengan gagah berani, gugur atau tidak gugur, dialah pahlawan. Di masa damai? Yang sering tampak flamboyan adalah pahlawan kesiangan, yakni orang-orang yang baru berani menepuk dada setelah masa-masa sulit berakhir. Persis seperti kelelawar yang mengaku bangsa burung katika burung menang perang, dan mengaku bangsa serigala ketika serigala menang perang, hanya karena kelelawar memiliki sayap bisa terbang seperti burung dan mulut seperti serigala.
Pahlawan hari ini tentu tak lagi perlu berteriak "merdeka atau mati." Pahlawan hari ini adalah mereka yang bisa merebut hati rakyat tidak dengan pedang, tapi dengan kejujuran. Medan pertempurannya beda, namun bukan berarti menjadi lebih ringan. Petanya sulit dibaca karena di dalamnya bercampur aduk segala macam kepentingan, adakalanya tak jelas ujung pangkalnya, dan tak kentara mana kawan mana lawan, walaupun warna jaketnya sama.
Akhirnya kita harus kembali ke pangkal kaji. Para pejuang kita yang gugur merebut dan mempertahankan kemerdekaan tak pernah minta disebut sebagai pahlawan. Mereka terpanggil untuk berjuang sampai tetesan darah penghabisan. Tidak ada yang memaksa, tak pula mengharap balas jasa. Tapi justru karena itu, tanggung jawab moril generasi penerus semakin berat. Kalau kita yang sekarang diberi pedang kekuasaan, menjalankan kekuasaan itu secara sewenang-wenang, tidak amanah, maka karma akan berlaku.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H