Oleh drh Chaidir
TEROR seekor kucing besar menimbulkan kegalauan dalam masyarakat tikus. Kucing besar itu datang sesuka hatinya, kapan dia mau atau kapan dia merasa lapar. Tikus yang tidak awas dan tidak sempat menyelamatkan diri pasti binasa. Kucing sama seperti harimau, pandai mengintai sehingga keberadaannya jarang terpantau oleh tikus. Tiba-tiba saja...bum...seekor tikus sudah terjepit di kukunya yang kucing dan tajam. Tak ada ampun.
"Aku galau" ujar seekor tikus. "Aku juga galau" jawab yang lain. Masyarakat tikus ini berada dalam suasana ketakutan, risau, panik, bingung. Satu demi satu kawan mereka dimangsa kucing besar. Maut seakan tinggal menghitung hari. Akhirnya bangsa tikus ini bersepakat, mereka harus menyelenggarakan musyawarah besar. Agendanya tunggal, mencari solusi untuk menyelamatkan bangsa tikus menghadapi ancaman kucing besar. Agenda lain diabaikan termasuk rencana membahas kenaikan harga BBM. Mereka tidak peduli dengan kenaikan atau penurunan harga BBM, itu hanya akal-akalan para politisi yang beberapa diantaranya malah dituduh sebagai tikus karena kebiasaannya mengorek lumbung padi yang bukan miliknya.
"Enak saja mengkambing hitamkan kami bangsa tikus," kata pemuka tikus. "Ada dua alasan kenapa bangsa tikus tak mau disalahkan. Pertama, bangsa kami memang hidup di lumbung padi atau gudang beras, tapi kami hanya makan seisi perut kami yang kecil, tidak menumpuk padi atau beras untuk tujuh turunan; Kedua, sejak zaman nenek moyang kami tak pernah minum BBM."
Bangsa tikus fokus menghadapi ancaman kucing besar. Singkat cerita, undangan mulai disebar, dan pada hari H mereka berkumpul untuk bersidang membahas ancaman sang kucing. Satu demi satu peserta sidang mengajukan usul, tak sedikit pula yang melakukan interupsi agar sidang tersebut diamankan dari penyusupan teliksandi atau intelijen yang mungkin membocorkan hasil sidang mereka ke kucing besar. Pimpinan sidang, tikus yang dituakan, mencoba senantiasa arif dan bijak mendengarkan usulan peserta sidang. Dia tahu kondisi psikologis peserta sidang, mereka sedang galau. Sidang sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam tapi belum ada gagasan jitu dan belum ada kata sepakat.
Peserta sidang sudah mulai jenuh dan hampir putus asa, ketika seekor tikus kecil muncul dengan gagasan yang brilian. "Kita tidak mungkin melawan kucing besar itu, satu kampung pun, kita pasti binasa." Peserta sidang terdiam. "Kita hanya bisa melawan kucing besar itu dengan siasat." "Ya siasatnya apa, jangan berbelit-belit." Seekor tikus memotong. Dengan penuh kearifan pimpinan sidang bertitah, "lanjutkan anak muda."
"Kita perlu mengetahui kapan kucing itu datang. Caranya, kita gantungkan sebuah lonceng di leher kucing besar itu ketika dia tidur. Nanti ketika kucing itu bangun dia pasti bergerak. Bila kucing tersebut bergerak apalagi berjalan lonceng itu akan berbunyi sehingga kita tahu, dan kita bisa lari menyelamatkan diri. Ini konsep early warning system, sistem peringatan dini". Urai tikus kecil percaya diri.
"Hore..." peserta sidang bersorak. Ini dia gagasan cerdas. Tikus kecil dielu-elukan sebagai pahlawan. Namun sesaat kemudian sidang hening ketika Pimpinan sidang bertanya, siapa yang bersedia menjadi sukarelawan untuk menggantungkan lonceng itu di leher sang kucing besar? Tidak ada satu pun yang berani, termasuk pimpinan sidang. Galau.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H