Oleh drh Chaidir
PANGGIL saja saya Dahlan, jangan Pak Menteri. Ucapan itu dilontarkan oleh Meneg BUMN Dahlan Iskan (DI) baru-baru ini (Riau Pos , 5/11 hal 1). Alasan Pak Menteri...eh...Pak Dahlan, sederhana saja, namanya memang Dahlan. Jabatan Menteri Negara BUMN itu hanya tiga tahun, sedangkan nama Dahlan dibawa sepanjang masa. Iya juga ya?!
Atau barangkali, DI tak nyaman dipanggil Pak Menteri. Sebab di kampungku, misalnya, warga tak bisa membedakan Menteri selaku Pembantu Presiden dengan mantri hewan atau mantri kesehatan. Semuanya disebut mantra, semuanya dianggap sama saja. Tak peduli mereka bahwa Menteri Pembantu Presiden itu anggota kabinet, nun tinggi di awang-awang, hitam katanya hitam, putih katanya putih. Seorang Menteri melaksanakan sebagian tugas Presiden di bidangnya, sedang mantri kesehatan atau mantri hewan misalnya, tugasnya membawa jarum suntik keluar masuk desa. Mantri kesehatan menyuntik orang, mantri hewan menyuntik sapi atau kambing, tak boleh terbalik.
DI bukan takut dipanggil pak mantri. DI memang dikenal sebagai sosok yang merakyat dan rendah hati (humble). Bukan karena DI sudah ganti hati. Jauh sebelum dia ganti hati sungguhan, dia sudah rendah hati. DI selalu tidak memosisikan dirinya sebagai boss, walau dia telah memenuhi semua persyaratan sebagai boss dan berhak dipanggil boss. DI tanpa disebut, agaknya seorang penganut egalitarianisme, sebuah paham yang memandang bahwa manusia itu ditakdirkan sama sederajat.
Di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II setelah reshuffle, dalam cara yang sedikit beda, Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz juga dikenal di kalangan teman-teman dan lingkungannya sebagai sosok yang merakyat dan rendah hati. Hanya saja sosok Menteri yang satu ini belum dikenal luas seperti DI. Mungkin ada anggota Kabinet lainnya, yang juga rendah hati tapi belum terlihat oleh publik.
Masyarakat memang mendambakan seorang Menteri Kabinet yang punya kemampuan, terpercaya dan merakyat. Menteri yang memosisikan diri hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Dengan kata lain seorang Menteri yang tidak menjaga jarak dengan rakyat yang harus diurusinya. Masalah yang sering terjadi selama ini, justru kehendak rakyat dengan kehendak Negara yang direpresentasikan oleh Menteri tidak seiring sejalan. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi misalnya, belum merupakan garansi kebutuhan rakyat akan menjadi nomor satu. Pembangunan seringkali menurut selera Menteri dan politisi, bukan menurut kebutuhan dasar rakyat. Agregasi aspirasi rakyat sering tidak fokus. Artikulasi aspirasi rakyat juga banyak ditunggangi kepentingan sempit.
Menteri egaliter, merakyat, rendah hati merupakan jaminan akan lebih banyak mendengar kehendak rakyatnya. Dan dengan modal kepemimpinan tersebut, sang Menteri akan mampu menggerakkan sumber daya yang ada di kementeriannya secara efektif dan efisien untuk peningkatan kesejahteraan rakyat yang menjadi pemilik sah negeri ini. Semoga!
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H