Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komunikasi Budaya

18 Juni 2012   09:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh drh Chaidir

PERILAKU kehidupan masyarakat kita dewasa ini ditandai dengan kekacauan berpikir. Masyarakat hidup dalam situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban dan keteladanan sosial. Masyarakat seolah tak punya negara dan hukum (stateless and lawless society). Inilah sindrom masyarakat anomie sebagaimana disebut sosiolog Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa penghormatan terhadap peraturan.

Bentrokan antar kelompok masyarakat, antar suku, antara aparat dengan masyarakat mudah sekali meletus. Adakalanya hanya karena urusan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik. Ketidak patuhan terhadap hukum, menjadi tontonan dimana-mana. Sementara pada sisi lain, elit politik tak kenal lelah melibatkan diri dalam perdebatan tanpa etika. Kehidupan masyarakat kita dewasa ini ditandai dengan politisasi berlebihan. Akibatnya sendi-sendi kehidupan bermartabat yang dengan bersusah payah ditegakkan, terlihat goyah. Kita hampir kehilangan pegangan. Hubungan persaudaraan, solidaritas, kegotongroyongan, rasa hormat-menghormati terlihat mengendur. Keteladanan menjadi sesuatu yang sulit dicari. Yang terlihat menonjol justru semangat materialisme yang berlebihan dan semangat perlombaan perebutan kekuasaan yang miskin etika.

Ada beberapa hal penyebab munculnya masyarakat anomie tersebut. Pertama, compang-campingnya penegakan hukum. Perangkat hukum yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat justru memunculkan ketidakadilan. Tidak sedikit rakyat kecil dipidana dan dihukum lebih berat dibanding pelaku korupsi yang jelas merugikan negara. Kedua, buruknya keteladanan dari elite. Para, penyelenggara negara berperilaku koruptif dan memperburuk keadaan. Ketiga, rakyat didera frustasi sosial. Akumulasi kekecewaan rakyat atas penegakan hukum formal telah melewati batas kesabaran. Masyarakat pun mulai main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Budaya sopan santun yang disebut-sebut sebagai ciri kebudayaan Melayu, justru tidak hadir dalam kehidupan nyata.

Saya bukan bermaksud membangun pesimisme, saya hanya ingin mengajak para perenung untuk berkontemplasi, atau siapa saja yang peduli, khususnya komunitas kebudayaan untuk melihat sebuah realitas sosial, bahwa kita bersama-sama sedang mendayung perahu sarat ini menuju samudra berombak besar yang tak berpantai. Carilah kesempatan menepi untuk jeda sembari melakukan kalkulasi. Atau kita akan sama-sama tenggelam ke dasar samudra yang kelam.

Potret budaya politik yang ditampilkan misalnya, adalah budaya politik yang buruk rupa, politik menghalalkan segala macam cara sebagaimana disebut Niccollo Machievelli. Mengapa demikian banyak orang yang melakukan kejahatan atas nama agama, etnis, suku, kebudayaan dan identitas lainnya? Mengapa banyak yang menegakkan kebenaran dengan cara yang tidak benar, mengapa menegakkan demokrasi dengan cara tidak demokratis, mengapa menegakkan hukum dengan cara yang tidak adil? Dan serangkaian panjang pertanyaan yang mengandung paradoksal, bisa disusun tali-bertali. Dusta dimana-mana, kemunafikan bersimaharajalela, lain di depan lain di belakang, lain di bibir lain di hati. Kita secara berjamaah terjebak dalam perangkap simbolistik kebudayaan, meriah dalam kostum dan seremoni miskin dalam apresiasi dan substansi, sehingga memunculkan perilaku yang jauh panggang dari api. Kita sedang menyulam sebuah kebudayaan yang tak punya hati. Konstituennya beratribut budaya materialistik, budaya instan, budaya korup, hedonisme, hipokrit, pembohong, dan seterusnya.

Singkatnya, ada sesuatu yang tak beres dalam masyarakat kita. Ada abnormalitas sosial budaya. Komunitas kita terluka karena banyak kebohongan, kepura-puraan dan fakta yang tersimpan di bawah meja. Kita bisa mengelabui publik, menyembunyikan kebenaran atau kecurangan, fakta boleh kabur, tidak terungkap, tidak tertangkap, berubah-ubah, tapi bukan berarti fakta itu tidak eksis. Justru fakta-fakta yang tidak terungkap itulah yang menjadi persoalan. Keburukan-keburukan yang tersembunyi itulah yang menimbulkan prasangka yang pada akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan. Keburukan yang berbaju kebaikan tak akan pernah bisa memberi tauladan. Kebudayaan window dressing, harga mahal berbagai seremonial, tak ubahnya hanya seperti bedak.

Seiring kencangnya arus perubahan dan kuatnya proses akulturasi di tengah masyarakat Melayu itu sendiri, kebudayaan Melayu laksana kapal yang berlayar di tengah badai. Dari berbagai kajian, mengaburnya kerangka acuan itu disebabkan karena beberapa hal. Pertama, adanya sebuah fakta, bahwa pembangunan kita terlalu mengedepankan aspek material. Dalam beberapa dekade ini pembangunan telah melahirkan ketidak-seimbangan dalam pola perilaku masyarakat. Persaingan material yang berlebihan telah menghasilkan masyarakat yang anomi. Capaian-capaian, khususnya bidang ekonomi, ternyata telah mengubah manusia menjadi makhluk-makhluk yang cenderung bebas nilai, saling memandang hubungan sosial dengan pertimbangan untung rugi atau kepentingan semata. Efek lanjutan dari kondisi ini munculnya generasi yang tercerabut dari nilai-nilai, generasi yang rapuh dari aspek spiritual, mudah stress, dan kehilangan pijakan platform.

Kedua, adanya fakta, bahwa era kesejagatan (globalisasi) berpotensi mengaburkan identitas. Hal ini bisa dimaklumi, karena kesejagatan bisa membuat siapapun atau negara manapun dapat memasuki "pintu" pihak lain tanpa sekat. Semua saling berbaur dan saling mempengaruhi secara mendalam. Sebagaimana dilansir dan sekaligus dikuatirkan oleh beberapa pakar masa depan, semisal Naisbitt, Alvin Toffler, atau Patricia Aburdane, kesejagatan itu berpeluang mengaburkan identitas seorang manusia, sebuah kaum, komunitas, atau bahkan negara. Tak jarang, seseorang yang mengaku Indonesia atau Malaysia, tetapi dalam sikap, ia sudah menjadi Eropa, atau Amerika, tanpa disadari atau karena kuatnya pengaruh kesejagatan tersebut. Ketiga: Perangkap kekuasaan. Sejarah mengajarkan kepada kita, runtuhnya imperium Islam di Andalusia, setelah jaya selama dua abad semenjak pasukan Tareq bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar, disebabkan karena krisis kepemimpinan. Nafsu kekuasaan dan harta benda telah menyebabkan terpecah-pecahnya imperium itu menjadi kesultanan yang kecil-kecil. Mereka saling berebut kekuasaan, bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang Sultan tidak segan-segan meminta bantuan kepada pasukan non muslim.

Perebutan kekuasaan dan harta benda dewasa ini, mempertontonkan kepada khalayak bahwa kita seperti sudah tersesat di siang bolong di tengah belantara tanpa platform. Sehingga, ketika bangsa lain telah memasuki era sain dan teknologi modern dalam merespon berbagai macam tantangan, kita masih terjebak pada pendekatan partikularistik yang menyebabkan kita kian tertinggal. Logika "untung-rugi" kelompok dan kedaerahan lebih menonjol ketimbang kepentingan masyarakat umum.

Kebudayaan Melayu yang diharapkan menjadi media untuk menetralisir perilaku anomi elit politik dan masyarakat, terperangkap pula dalam formalitas atributif, simbolistik dan miskin substansi. Sesungguhnya, ketika kebudayaan Melayu menjadi sebuah paradigma, serta merta menempatkan kita kepada identitas religius yang sangat kentara. Begitu kuatnya nilai-nilai religius melekat dan membalut jati diri Melayu, menjadikannya bak hubungan kulit dan daging. Sehingga muncul persepsi antropologis, Melayu adalah Islam, kebudayaan Melayu dengan demikian adalah kebudayaan Islam. Tapi justru di sinilah letak kegalauan itu, yang mencuat menjadi kontradiksi-kontradiksi.
Tren Kebudayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun