Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Kesetiaan Buaya Jantan

14 November 2012   02:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:25 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

BALIHO sebesar apapun tak akan mampu mengubah pencitraan seekor buaya. Kendati dalam baliho tersebut buaya misalnya digambarkan sebagai makhluk yang kerap dizolimi sang kancil, dibodoh-bodohi seekor itik atau dikadalin seekor kambing. Buaya tetap buaya, tak perlu dikasihani. Siapa suruh jadi buaya?

Sebutlah buaya, yang langsung terbayang adalah keserakahan. Demikian serakah dan tamaknya, jangankan daging segar, bangkai pun disikat. Bukankah ada bidal, "mana ada buaya yang menolak bangkai?" Karena keserakahannya, seperti diceritakan dalam dongeng, seekor buaya harus menemui ajalnya di kaki seekor gajah. Dongengnya bermula ketika seekor gajah yang sedang kelaparan menemukan seekor itik. Itik yang tak berdaya sempat memberi saran kepada buaya, "hai buaya, dagingku tak seberapa, tak akan membuatmu kenyang, kalau kau mau daging yang lebih besar dan lezat, ada seekor kambing gemuk di balik bukit itu yang sedang merumput, aku akan antar kau ke sana." Buaya setuju. Itik mengantar buaya ke tempat kambing merumput.

Kambing gemuk itu sungguh menggiurkan. Tanpa basa-basi buaya berteriak. "Hai kambing, aku lapar." Kambing terkejut, dan dengan perasaan tak berdosa, dia mengajak buaya untuk makan bersama. "Ayo kita merumput sama-sama, itu rumput dekat mulutmu segar-segar."
"Bodoh, aku karnivora, bukan herbivora."
"Maksud lo?"
"Dasar kambing, aku ini hewan pemakan daging, bukan pemakan rumput."
"O begitu, coba kamu lihat ke sana, itu ada seekor kerbau besar, pasti sangat lezat dan bisa membuatmu kenyang selama sepekan." Tanpa pikir panjang, buaya yang sudah membayangkan akan mendapatkan daging segar yang lezat, langsung menuju ke tempat buaya.
"Mau apa kamu, buaya?" sapa sang kerbau.
"Aku akan memakan tubuhmu yang tambun itu."
"Kamu mau daging yang lebih besar lagi?" Kerbau memberi opsi.
"Di hutan itu ada beberapa ekor gajah besar yang badannya jauh lebih besar dari badanku, dan kata orang daging gajah itu rasanya nikmat, aku akan antar kau ke sana supaya kau lebih puas."

Singkat cerita buaya yang serakah, menuruti saran sang kerbau. Dan karena perasaan lapar yang memuncak, buaya langsung memilih dan menyerang paha gajah yang paling besar. Tapi apa lacur, gajah bukan tandingan buaya. Sang buaya kita yang lapar berat itu tewas diinjak-injak oleh sang gajah.

Mitos buaya tidak hanya tentang keserakahan. Buaya juga mendapat stigma yang kurang sedap sebagai buaya darat. Perumpamaan buaya darat adalah untuk menggambarkan seseorang yang jahat dan suka main perempuan. Entah darimana perumpamaan itu berasal dan siapa yang menemukannya. Padahal umum diketahui di dunia perhewanan, buaya jantan itu setia sampai mati dengan pasangannya. Buaya lebih sesuai sebagai lambang kesetiaan. Jadi, jangan tiru buaya dari keserakahannya, tirulah dari kesetiaannya. Ayo buktikan, kamu bisa.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun