Oleh : drh Chaidir
BAGAIMANA membius seseorang tanpa obat bius? Jawabannya, jampi-jampi. Sebut sesuatu semisal simsalabim abrakadabra, maka seseorang berubah menjadi pangeran atau bidadari, atau bisa berubah menjadi kodok. Atau seseorang dengan sukarela mentransfer uangnya dari ATM sesuai perintah sang penyihir.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ada frasa bukan sihir tapi mempunyai daya sihir laksana abrakadabra itu. Seuntai kata cukup memiliki daya ungkit, atau daya dorong, mampu menggiring opini bahkan menggerakkan massa. Setiap era memiliki jampi-jampi yang berbeda. Ketika bangsa kita mempertahankan kemerdekaan misalnya, jampi-jampinya adalah “merdeka atau mati”. Tak ada keraguan sama sekali, semua berada dalam semangat rela berkorban jiwa raga untuk kemerdekaan bangsanya.
Di masa orde lama, semangat revolusioner membakar rasa nasionalisme dan patriotisme di setiap dada putra-putri bangsa. Setiap kali mendengar pidato yang berapi-api dari Bung Karno, Presiden pertama RI, melalui corong radio, setiap kali kita mengepalkan tinju, “ini dadaku mana dadamu”, “go to hell America”, “persetan dengan PBB”. Kami mampu berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Rebut Irian sebelum ayam jantan berkokok. Ganyang Malaysia, mereka adalah antek neo-kolonialisme, dst dst. Demikian banyak frasa yang membius. Kita dibuat hampir tak sempat bernafas karena semangat yang menggebu-gebu.
Di era orde baru, jampi-jampi bangsa kita yang paling mangkus adalah frasa pembangunan nasional. Demi pembangunan nasional semua harus menepi. Kemiskinan harus dilawan dengan pembangunan nasional. Agar pembangunan nasional berjalan dengan sukses, maka keadaan harus stabil. Keamanan harus stabil, politik dan ekonomi harus stabil. Tak boleh ada gejolak, karena gejolak akan mengganggu stabilitas, dan secara langsung akan mengganggu pembangunan nasional. Persatuan dan kesatuan adalah ruh pembangunan nasional yang ditandai dengan uniformirtas. Semua harus seragam, ada mobil nasional, ada baju nasional, sepatu nasional, senam nasional, dan seterusnya.
Di era reformasi dan pasca reformasi, ada sederetan jampi-jampi yang membuat ribuan mulut sering komat-kamit membacanya. Frasa itu, sebutlah, demokratisasi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, otonomi daerah, dan juga transparansi. Agenda-agenda tersebut sering membuat seseorang “duduk” atau “terduduk”. Mantra itu sebenarnya bisa saling memperkuat, tapi bisa pula saling mementahkan satu sama lainnya. Seseorang yang semula hanya orang biasa-biasa saja, karena jampi-jampi demokrasi tiba-tiba tampil menjadi sosok penguasa. Sebaliknya seorang penguasa dalam sekelip mata kehilangan singgasana yang dibanggakan bahkan tidak sedikit yang harus menginap di hotel prodeo. Era ini sarat dengan lintasan sulit yang menuntut bangsa ini harus cermat membaca.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H