Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum berkembang menjadi sulit dan mahal, bahkan sarat dengan rekayasa

4 September 2011   08:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:15 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ubi Societas Ibi Ius - Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum

Oleh drh Chaidir

UCAPAN filsuf Romawi, Cicero lebih kurang 19 abad silam itu, kini melintasi zaman. Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Masyarakat memerlukan aturan hukum, agar kehidupannya tertib dan tidak ada seorang pun yang diperlakukan tidak adil. Yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Sang penguasa pula, tak boleh sewenang-wenang.
Zaman berganti zaman. Dinasti demi dinasti, raja demi raja, rezim demi rezim berdiri dan tumbang silih berganti, tak ada satu pun yang berani mengklaim tidak memiliki aturan hukum, sezalim apapun penguasanya. Semua mengklaim demi tegaknya hukum. Jangankan seorang penguasa, rakyat kecil saja akan marah bila dikatakan tidak tahu aturan.

Alkisah, adalah Ratu Sima, seorang ratu yang memerintah kerajaan Kalingga pada akhir abad ke-7 Masehi, sungguh-sungguh mempraktekkan hukum di kerajaannya tanpa pandang bulu. Kerajaan Kalingga yang terletak kira-kira di sekitar daerah Jepara, Jawa Tengah sekarang, mengalami masa kejayaannya di masa pemerintahan Ratu Sima.  Pada suatu ketika, seorang Sultan dari negeri seberang ingin menguji kesetiaan rakyat Kalingga terhadap Ratunya dengan menjatuhkan sebuah pundi-pundi yang berisi emas berlian di tengah jalan. Untuk beberapa lama, tak ada satu orang pun yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang “tercecer” tersebut, sampai suatu ketika   putra makhkota, anak dari Ratu Sima sendiri tak sengaja menyentuhnya. Akhirnya sang putra mahkota dihukum, dipotong seluruh jarinya oleh Ratu Sima.

Namun, mungkin karena zaman telah berganti berulang kali, hukum seperti disebut Cicero dan dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat oleh Ratu Sima,  tak lagi linier dan mudah dipahami.  Hukum berkembang menjadi sulit dan mahal, bahkan sarat dengan rekayasa.
Musuh utama penegakan hukum yang adil adalah ketidakjujuran. Ketidakjujuran hukum itulah yang kini sangat menonjol.  Sebetulnya, pada awalnya, semua ingin berlaku jujur, karena itulah fitrah manusia. Lihatlah anak kecil, dia tidak pandai berbohong, apa adanya itulah yang diucapkan. Karena apa? Karena jiwanya masih bersih. Kertas putih jiwa sang anak, baru mulai kotor ketika sang anak sedikit demi sedikit beranjak besar dan mulai bersentuhan dengan kebohongan-kebohongan. Berawal dari keluarga, tetangga, lingkungan, masyarakat dan keteladanan yang tidak baik.

Ketidakjujuran hukum itu berpangkal ketika hukum harus berhadapan dengan politik dan kekuasaan, berhadapan dengan kepentingan pribadi, kelompok, isntitusi, esprit de corp, partai politik dan sebagainya.  Di sinilah sesungguhnya kejujuran diuji.

Salah satu nilai Ramadhan dan  Idul Fitri yang baru saja kita lalui adalah kejujuran. Puasa Ramadhan telah melatih kita untuk berlaku jujur dan Idul Fitri adalah momentum untuk mulai memprakteknya dalam kehidupan bermasyarakat. Bila hukum dalam masyarakat tidak dipraktekkan secara jujur, maka yang kuatlah yang akan selalu tampil sebagai pemenang di pengadilan. Bila ini terjadi maka sebenarnya yang berlaku adalah hukum rimba: hukumnya, tidak ada hukum.  Padahal menurut pepatah Latin, Justitia exaltat gentem, keadilan meningkatkan derajat bangsa.

Tentang drh chaidir http://bungchaidir.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun