Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekaprasetia Pancakarsa

5 Juni 2012   12:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

PANCASILA Dasar Negara, rela atau tak rela, kelihatannya tak lagi menarik bagi umumnya anak muda sekarang. Pancasila tak lagi sering terdengar dalam berbagai pembicaraan atau dalam berbagai pidato, bahkan dalam pidato resmi pejabat sekalipun. Bagi umumnya mahasiswa, mata kuliah Pancasila juga bukan mata kuliah favorit. Kalau boleh mata kuliah ini tidak ambil, pasti dengan senang hati tak akan diambil.

Mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita? Presiden ke-3 RI, Prof Habibie, dalam orasinya yang berapi-api bersempena Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011 tahun lalu, menjawab sendiri pertanyaannya. Sebab, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa, telah banyak berubah baik di tingkat domestik, regional  maupun global. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain adalah, pertama, telah terjadi proses globalisasi dalam segala aspeknya; ke-dua, perkembangan  gagasan  hak  asasi  manusia  (HAM)  yang  tidak  diimbagi  dengan  kewajiban  asasi  manusia; ketiga, terjadi lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang  amat  berpengaruh  dalam  berbagai  aspek  kehidupan,  tapi  juga  rentan  terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya. Dengan kondisi demikian masyarakat tak lagi merasa perlu bermesra-mesraan dengan Pancasila. Pancasila cukup dibaca ketika sedang upacara bendera saja.

Setelah reformasi pada 1998, apresiasi terhadap Pancasila memang terlihat menurun. Apalagi terhadap P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). P4 yang populer dengan sebutan "Ekaprasetia Pancakarsa" dituding sebagai ajaran Orde Baru. Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sansekerta. Secara harfiah "eka" berarti satu/tunggal, "prasetia" berarti janji/tekad, "panca" berarti lima dan "karsa" berarti kehendak yang kuat. Dengan demikian "Ekaprasetia Pancakarsa" berarti tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak kelima Sila Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan tak tergoyahkan. Namun sementara pihak yang alergi terhadap Orde Baru menganggap P4 itu ajaran Orde Baru yang tidak layak dipercaya.

Padahal 45 butir P4 itu sebenarnya tidak ada yang salah. Seorang bloger, dinolefty.wordpress.com membuat analogi yang sangat mengena. Jika seorang dokter memberitahukan kepada Anda bahwa merokok dapat merusak kesehatan dan membahayakan kehidupan Anda, kita tentu setuju dan percaya dengan nasihat dokter tersebut, walapun sang dokter adalah seorang perokok berat.

Mari kita ambil salah satu contoh dan kita cermati butir-butir P4 dari sila keempat Pancasila, yakni "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan" sebagai beikut: (1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. (2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain. (3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. (4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan. (5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. (6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. (7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. (9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama. (10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan. Butir-butir tersebut rasanya baik-baik saja, tak ada yang menyalah. Kenapa mesti apriori?

Berhadapan dengan semakin menajamnya polarisasi dan fragmentasi dalam masyarakat karena kita tak arif menyikap perbedaan, agaknya kita harus semakin memperkuat jati diri bangsa dengan semakin sering menyapa Pancasila.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun