Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Belut Dilumuri Oli

7 Februari 2012   12:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

SYAHDAN, musyawarah besar para hewan memutuskan bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah dunia baru yang semakin tak menentu. Solusinya, mereka harus bersekolah bila tak mau kalah bersaing. Gagasan itu dituangkan oleh seorang ahli pendidikan Dr. R.H. Reeves dalam sebuah fabel menarik, The Animal School.

Dalam kisah The Animal School (Sekolah Hewan) sebagaimana ditulis Reeves, kurikulumnya adalah berlari, berenang, memanjat, dan terbang. Tak dijelaskan mengapa hanya itu kurikuklumnya. Mungkin ada kaitannya dengan persiapan atlit PON XVIII? Tentu tidak. Tetapi walaupun siswa-siswa di Sekolah Hewan itu dipastikan tidak akan ikut bertanding di PON XVIII, mudah dipahami, kompetensi dalam kurikulum tersebut sangat diperlukan oleh siswa untuk adu cepat berebut makanan, bertahan hidup di habitat yang semakin terancam, dan menghindar dari makhluk pemburu yang bernama manusia.

Untuk memudahkan administrasi, semua hewan di Sekolah Hewan harus mengambil semua mata pelajaran. Siswa itik pakar dalam berenang, bahkan lebih baik dibandingkan gurunya. Itik juga memperoleh nilai yang bagus sekali dalam pelajaran terbang, tetapi ia sangat buruk dalam mata pelajaran berlari. Karena itu ia harus tinggal sesudah sekolah usai dan juga melepaskan pelajaran berenang untuk berlatih lari secara ekstra. Itik dipaksa oleh gurunya berlatih sehingga kakinya yang berselaput pecah-pecah dan ini menyebabkan kemampuan berenangnya menurun menjadi sedang-sedang saja.

Kancil percaya diri sebagai siswa terpandai di kelas dalam pelajaran berlari. Tetapi ia stress berat karena harus belajar berenang. Tupai menyombongkan diri sebagai siswa yang sangat ahli dalam memanjat, namun frustasi hebat dalam pelajaran terbang, karena guru menyuruhnya terbang dari tanah ke atas. Berkali-kali dicoba, berkali-kali terjerembab, sampai tangan dan kakinya keseleo dan karena itu ketika ujian pelajaran memanjat ia hanya mendapat nilai C untuk mata pelajaran keahlian dan kesayangannya. Elang adalah siswa yang paling suka menimbulkan masalah yang menyebabkan gurunya pening tujuh keliling. Dalam mata pelajaran memanjat ia mengalahkan semua siswa yang lain menuju puncak pohon yang tinggi, tetapi ia bersikeras menggunakan caranya sendiri untuk tiba di puncak pohon. Ia terbang.

Pada akhir tahun ajaran seekor belut abnormal yang dapat berenang dengan luar biasa dan juga dapat berlari, memanjat dan terbang sedikit, mendapat nilai rata-rata tertinggi. Dan belut mendapat kehormatan mengucapkan pidato perpisahan. Itu belum seberapa kalau badannya dilumuri oli. Makhluk manusia sering mengumpamakan seseorang yang selalu mampu berkelit dari jeratan hukum, licin ibarat belut dilumuri oli. Padahal belut saja tak pernah berpikir seperti itu. Tanpa oli pun dia sudah licin. Sembarangan.

Tentang Penulis http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun