Oleh drh Chaidir
TUTOR bahasa Italia di kelas kami di Reggio Emilia, dua puluh tahun silam, bergurau dengan menyebut, bahwa bangsa Italia dan Inggeris dipisahkan oleh dua perkara, yaitu bahasa dan sepakbola. Liga Premier di Inggeris dan Serie A Italia adalah dua kutub yang berbeda.
Orang Italia bilang bahasa Inggeris itu susah, orang Inggeris bilang bahasa Italia itu yang susah. Tapi pelatih top Italia pernah berkibar di Inggeris seperti Fabio Capello (Timnas) dan Carlo Ancelotti (Chelsea). Sekarang Roberto Di Matteo dan Roberto Mancini sukses sebagai pelatih Chelsea dan Manchester City. Sebaliknya jarang pelatih Inggeris yang sukses di Serie A, penyebabnya mudah diterka, sebagian besar pemain di Serie A hanya bisa berbahasa Italia.
Namun, bidal "Bahasa menunjukkan bangsa" tidak hanya bermakna orang Italia berbahasa Italia, orang Inggeris berbahasa Inggeris, orang Tionghoa berbahasa Tionghoa. Sebab, kalau "bangsa" dalam bidal itu diartikan sempit melulu sebagai "nation", maka akan meleset. Sebab, bangsa Amerika atau Australia berbahasa Inggeris. Swiss berbahasa Prancis. Aljazair Dan Maroko berbahasa Arab dan Prancis. Singapura misalnya, berbahasa Melayu, Inggeris, Mandarin dan Tamil.
"Bangsa" dalam bidal tersebut agaknya lebih tepat dipakai dalam arti luas, menunjuk apakah orang atau suatu kelompok termasuk golongan masyarakat yang berbangsa atau bukan. Cara seseorang bertutur bahasa, bisa memberi gambaran apakah orang tersebut terhormat, terpelajar atau bukan. Strata pendidikan tidak menjamin apakah seseorang itu otomatis menjadi orang terhormat, terpelajar atau intelektual. Semua dinilai dari tutur bahasanya.
Oleh karena itu hati-hati menggunakan kata-kata pungut, atau kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Masyarakat kita sering latah. Misalnya, kata introspeksi salah disebut intropeksi. Antisipasi disebut antipasi. Kontribusi disebut konstribusi. Kadang-kadang hanya masalah sebuah huruf "S" bisa menjadi bahan tertawaan. Seorang bupati di sebuah negeri antah berantah, konon dalam sebuah pidato berulangkali menyebut intropeksi dan antipasi. Ajudannya gerah dan segera membisikkan, "Pak, kurang 'S' Pak". Mendengar bisikan itu sang Bupati dengan bersemangat meneruskan pidatonya, "hadirin sekalian, ada yang membisikan kurang es, oleh karena itu saya akan bangun pabrik es." Kata Bupati mantap.
PON Riau 2012 lalu meninggalkan banyak PR. Salah satu yang luput dan perlu diluruskan dari sudut kebahasaan adalah penggunaan kosa kata"venue" dan "iven". Venue (bahasa Inggeris, dibaca venyuw atau venyuws kalau jamak), sering latah diucapkan sebagai 'pinus' atau 'penus', padahal ada padanannya yang bagus dalam bahasa Indonesia, yaitu arena. Kata iven juga sering diucapkan dan ditulis media, maksudnya adalah event (Inggeris, dibaca ivent), berarti pertandingan atau perlombaan. Padanan bahasa Indonesia untuk dua kata Inggeris tersebut sebenarnya terasa lebih bagus dan nyaman, jauh dari kesan snob. Ciyuus.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H