Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revanchea Idea

4 Maret 2013   06:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:21 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

SYAHDAN pada suatu senja yang jauh, pada 1964 di masa konfrontasi Indonesia-Malaysia, di depan Pulau Socotra (Selatan Saudi Arabia - Timur Teluk Aden), Perwira jaga Dewa Ruci, yang sedang dalam pelayaran menuju Afrika Selatan, berteriak: "Anjungaaaaan! Ada kapaaaaal! Kapal Induk!" Lalu terjadi tanya jawab dengan lampu isyarat.

Ternyata kapal induk tersebut bernama HMS Bullwark dari AL Kerajaan Inggris (sekutu Malaysia), yang sedang berlayar menuju Malaysia untuk bergabung dengan armada tempur di Selat Melaka dan Laut China Selatan, menghadapi Indonesia. Agak mendebarkan, karena HMS Bullwark mengubah haluan dan mendekati Dewa Ruci. Namun isyarat-isyarat lampu HMS Bullwark, berbunyi: Layar-layarmu terkembang sangat cantik. Dewa Ruci pun mengirim jawaban tak kalah simpatiknya: Bon Voyage and Happy Landing! Selamat Jalan HMS Bullwark, selamat sampai tujuan. (Dielaborasi dari buku Gramedia yang ditulis Cornelis Kowaas, "Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra, Sebuah Kisah Nyata").

Sebuah kisah nyata lainnya, terjadi dalam pertandingan World Cup 1990 ketika Timnas sepakbola Jerman berhadapan dengan timnas Inggris dalam pertandingan hidup-mati di babak knock out, perempat final. Pemain Inggris terkapar di saat Jerman menguasai bola dan menyusun serangan. Pada satu titik kesadaran kemanusiaan, pemain Jerman pun langsung membuang bola ke luar lapangan untuk memberi kesempatan pemain Inggris yang terkapar untuk mendapatkan perawatan medis.

Dua episode dari dua peristiwa nyata yang amat berbeda tersebut, Perwira Kapal Induk HMS Bullwark yang memuji kapal musuhnya, dan pemain Jerman yang membuang bola sebagai bentuk komitmennya menjunjung fair play, mempertontonkan sikap simpatik, spirit sportivitas dan saling menghargai. Pesannya sangat jelas dan harum mewangi.

Panggung politik kita dewasa ini, sepertinya jauh dari tontonan sikap simpatik yang menyejukkan jiwa tersebut. Tak ada sitawar sidingin. Memang benar dalam dunia politik berlaku adagium, "tak ada musuh abadi dan tak ada kawan sejati, yang abadi hanya kepentingan." Dengan kata lain, demi sebuah kepentingan dalam dunia politik, lawan bisa jadi kawan, kawan bisa jadi lawan. Tetapi menghalalkan segala macam cara demi kepentingan, tak ubahnya laksana predator yang menerkam mangsanya di rimba belantara.

Panggung politik kita justru acapkali menampilkan permainan yang mestinya hanya boleh ditonton oleh orang-orang yang sungguh-sungguh telah dewasa. Orang yang sudah dewasa politik saja adakalanya tidak siap mental. Terlalu seronokkah adegannya? Tidak. Adegannya seringkali tidak pantas dan kurang sehat ditonton oleh remaja apalagi anak-anak. Cerminnya tidak memberi pelajaran, yang banyak justru cermin kabur atau retak. Babak demi babak pertunjukan sarat dengan adegan vulgar politik balas dendam (Revanchea Idea) yang tidak lagi mengindahkan sopan santun. Logika akal sehat sebagai sebuah identitas, terhimpit oleh bunyi-bunyian dendam politik yang ditabuh bertalu-talu.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun