Oleh drh Chaidir
TRADISI saling meminta maaf menjadi ritual penting saat memasuki bulan suci Ramadhan. Kemajuan teknologi dewasa ini telah memberi banyak kemudahan. Seseorang yang hendak meminta maaf kepada sanak saudara dan handai taulan, atau bahkan kepada orang tua sekali pun, tak mutlak harus mengacungkan tangan bersalaman. Kalau jarak berjauhan, apa hendak dikata. Gunakan saja telepon genggam, SMS, BBM, facebook, twitter, atau email, habis perkara.
Beberapa provider memberi jasa pelayanan paket super hemat, untuk memuaskan nafsu pelanggan berkomunikasi sehingga pembicaraan melalui telepon genggam dan SMS dikenakan tarif sangat murah, berapa lama pun berbicara dan seberapa banyak pun SMS dikirim. Beberapa jasa komunikasi melalui media sosial bahkan disediakan secara gratis.
Tetapi sesungguhnya, bila dikaji-kaji, kemajuan teknologi dan kecanggihan media sosial itu jugalah yang menjadi biang kerok mudahnya seseorang berbuat salah. Pergosipan dan pergunjingan tumbuh dengan subur. Aib seseorang dengan mudah disebarluaskan, demikian juga fitnah, pemutarbalikan fakta. Kebohongan pun demikian saja tanpa perasaan berdosa dipublikasi untuk membentuk opini guna menjatuhkan seseorang. Lebih parah lagi, foto pun bisa direkayasa dan disebarluaskan seolah-olah foto asli.
Sisi negatif media sosial ini dieksploitasi sedemikian rupa dan menjadi media yang paling sesuai untuk mengembangkan debat kusir, apalagi percaturan politik di tengah masyarakat kita cenderung berkembang tanpa etika. Perbedaan pandangan dikompori oleh para pendukung dan penggembira sehingga apinya membesar dan sulit dipadamkan. Lawan politik tak lagi dipandang sebagai kompetitor, tetapi diposisikan sebagai musuh yang layak ditaklukkan dan dihabisi. Sikap amarah dan permusuhan diobral, sedangkan sikap pemaaf dan persahabatan menjadi suatu yang sangat sulit dan mahal.
Memasuki bulan suci Ramadhan, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling meminta dan memberi maaf, tak masalah via SMS atau BBM, yang penting adalah keikhlasannya. Memohon maaf memang baik, namun jauh lebih baik justru memberi maaf. Orang yang melakukan kesalahan kemudian meminta maaf, itu biasa. Yang luar biasa adalah, orang yang benar, tapi tidak merasa paling benar. Baginya tiada manusia yang luput dari salah dan alpa. Bukankah tak ada gading yang tak retak? Apalagi hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dewasa ini sedang mengalami distorsi besar-besaran. Suka atau tidak, masyarakat kita terperangkap dalam persaingan memperebutkan harta dan kekuasaan yang luar biasa hebatnya. Hari ini mereka yang salah, esok mungkin kita. Siapa tahu?
Tidak mudah menerima kebenaran dengan rendah hati, darimana pun datangnya. Hanya orang-orang yang berjiwa besar dan berhati lapang yang bisa melakukannya dengan senyum terkulum manis. Selamat berpuasa.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H