Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membenamkan Egoisme

25 Juli 2012   06:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

TOPIK yang selalu menjadi perdebatan di tengah masyarakat kita setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, adalah penetapan awal puasa Ramadhan. Dalam perspektif hubungan manusia secara vertikal dengan Sang Pencipta, barangkali perbedaan hari awal mulai berpuasa antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya tak akan jadi masalah. Alasannya, kedua kelompok masing-masing meyakini, apa yang mereka lakukan adalah benar. Para pemimpin kelompok pastilah ulama dan orang-orang cerdik-pandai. Alasan berikutnya bukankah Allah SWT itu Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Penyayang? Berbuat salah atau khilaf adalah domain manusia.

Dalam perspektif hubungan horizontal, perbedaan awal puasa itu sedikit menimbulkan perasaan kurang nyaman. Hanya sedikit saja. Kalau perbedaan itu dibesar-besarkan juga tidak ada gunanya. Mudaratnya pasti lebih banyak. Buatlah daftar panjang perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya yang berbeda awal puasa Ramadhannya, kemudian buat pula daftar panjang persamaan. Pastilah daftar persamaannya akan jauh lebih panjang. Maka kesimpulannya, abaikan perbedaan itu. Berlomba-lomba sajalah berbuat kebajikan.

Tetapi untuk sekedar renungan kita, tulisan Muhibussabri Hamid (suaraaceh.com 21/7/2012) menarik untuk dicermati. Muhibussabri menulis tentang kontroversi perbedaan awal puasa Ramadhan dengan sebuah perbandingan yang wajar tidak berlebihan. "Saudi sendiri tidak mengenal perbedaan hari awal Ramadhan. Mereka kompak dan sepakat kapan mulai puasa, tentu saja dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan Rasullullah. Lalu Mesir, disana tak kalah banyaknya kubu-kubu, namun tetap penetapan tanggal puasa mengikuti arahan dan ketetapan lembaga berkaitan. Dalam hal ini Dar al Al-Ifta sebagai lembaga resmi fatwa." Begitu ditulisnya. Di negeri kita, lembaga resmi sudah terbentuk sejak lama, dalam hal ini diwakili Kementerian Agama. Tapi setiap tahun kelihatannya kementerian ini tidak hadir mewakili kepentingan Negara.

Pastilah banyak ulama terbilang di Arab Saudi dan tentulah banyak cerdik cendekia di Mesir. Tapi mengapa perdebatan tidak berpanjang lebar? Mengapa mereka bisa menyamakan persepsi? Barangkali para ulama dan cerdik cendekia kita tahu jawabannya, atau jawabannya juga kontroversi. Namun salah satu dari sekian kemungkinan kata kuncinya adalah masalah egoisme. Egoisme individu, egoisme intelektual, egoisme kelompok, dan egoisme kekuasaan, barangkali inilah yang membuat perbedaan.

Di negeri kita itu menjadi masalah serius dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga Wakil Presiden Boediono merasa perlu mengungkapkannya dalam menyampaikan pidato pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni, tentang Pancasila pada 1 Juni 2012 yang lalu. Wapres Boediono mengatakan eksistensi bangsa Indonesia menghadapi risiko yang paling besar, yaitu tumbuhnya egoisme sempit. "Setiap bentuk egoisme itu akan menyingkirkan orang lain dan merebut hak-hak bersama, serta akan menimbulkan konflik yang mendatangkan korban jiwa dan harta. Egoisme sempit itulah yang harus kita tolak. Kita harus melawan egoisme seperti itu," kata Boediono.

Wapres benar. Oleh karena itulah nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang tumbuh subur dalam semangat puasa Ramadhan perlu kita pelihara dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak harus berikhtiar membenamkan sifat egoisme sempit dengan memberikan keteladanan atau kita akan terus membiarkannya membiak di tengah masyarakat.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun