Oleh drh Chaidir
KICAUAN baru publik yang cukup nyaring pekan ini adalah pembangunan gedung KPK. Kicauan ini hangat tapi sebenarnya basi. Hangat, karena menyentuh kongkurensi KPK dan DPR. KPK disebut lembaga superbodi dalam pemberantasan korupsi. DPR juga tak mau kalah, ingin disebut sebagai lembaga superbodi sebagai perwakilan rakyat yang bisa berbuat apapun atas nama rakyat.
Sayangnya, berdasarkan hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menunjukkan 47 persen dari 2.192 responden mempersepsikan DPR sebagai lembaga yang paling korup. Ini berarti DPR harus berhadapan vis-à-vis dengan KPK.
Tahun lalu, KPK pernah mau dibubarkan oleh DPR karena KPK memeriksa dan menetapkan beberapa orang Anggota DPR sebagai tersangka dugaan kasus korupsi, bahkan Pimpinan Banggar DPR pun tak terkecuali. KPK dianggap oleh DPR seperti kacang lupa akan kulitnya. Karena, bukankah KPK itu terbentuk atas persetujuan DPR? Mungkin yang diinginkan oleh DPR adalah, harus ada take and give. DPR harus diberi pengecualian.
Sekarang ketika KPK memerlukan DPR untuk mengesahkan anggaran bagi pembangunan gedung KPK, maka DPR pun pasang aksi. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. INILAH.COM (8/7) menulis, “Terkait pembangunan gedung KPK, Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardhika menyatakan ada dua variabel saat ini yang mempengaruhinya. Variabel pertama soal pembintangan yang hingga kini belum dicabut dan Sedangkan variabel kedua, hingga kini masih belum ada titik temu antar-fraksi.” Dengan kata lain, DPR masing “menggantung” anggaran pembangunan gedung KPK.
Publik pun bereaksi. Dimana-mana muncul aksi pengumpulan koin untuk KPK. Beberapa tokoh dan tak terkecuali artis pun ikut memberi “saweran.” Jumlah koin dan saweran yang terkumpul mungkin belum banyak, tetapi mengandung makna mendalam sebagai bentuk dukungan publik terhadap KPK. Dan pada saat yang sama publik sekaligus mengejek DPR sebagai corong hantu, karena tidak jelas suara dari mana yang mereka perbesar.
Mencuatnya wacana pembangunan gedung secara berlebihan, sebenarnya adalah logika basi. Tahun lalu misalnya, DPR menyetujui pembangunan 33 buah gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di 33 provinsi @ Rp 30 milyar, berarti total hampir saru triliun rupiah. Padahal DPD kita dalam sistem parlemen bicameral yang dianut sekarang, fungsi legislasinya sangat lemah, bahkan dalam pembentukan undang-undang, DPD tidak mempunyai voting rights (hak suara). Lantas untuk apa pembangunan gedung berlebihan? Bukankah fungsi legislasi DPD tersebut yang seyogianya terlebih dahulu harus dikuatkan, sehingga mampu mengimbangi fungsi legislasi DPR?
Dalam paradigma manajemen modern, manajemen yang berbasis gedung perkantoran, apalagi pembangunan gedung perkantoran megah yang menelan biaya sangat besar, sebenarnya masuk wilayah yerterday logic, seperti disebut pakar management Peter Drucker. Sebuah logika masa lalu yang usang. Manajemen modern bukan berbasis kantor, tetapi berbasis Information of Technology (IT). Dengan system IT yang super canggih, pimpinan dan anggota KPK bisa rapat kapan saja, dimana pun mereka masing-masing berada dan tentang apapun topik bahasannya.
Kantor mungkin penting tetapi yang lebih penting lagi adalah kecanggihan system IT-nya. Gedung megah pasti menimbulkan beban pemeliharaan yang besar pula dan selamanya akan menjadi beban. Oleh karena itu key performance indicators (indikator kinerja kunci) bagi KPK bukan terletak pada gedung yang hebat, tetapi pada keberhasilan KPK tanpa pandang bulu melibas dan memberi hukuman berat bagi koruptor.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H