Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Adu Domba

7 Juli 2012   01:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 2122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

DOMBA tak mau kalah populer dengan kambing hitam, saudara serumpunnya. Seperti halnya kambing hitam, domba juga tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Domba seakan ditemukan di sembarang tempat, dan selalu siap diadu, tinggal tanya saja, wani piro? Maka tak heran setiap hari kita menemukan praktik adu domba di tengah masyarakat. "Domba-domba" tersebut semakin hari semakin banyak dan semakin reaktif, juga semakin atraktif sebagai bahan "tontonan" aduan.

Politik adu domba dalam bahasa kampungnya disebut devide et impera. Maksudnya, istilah tersebut adalah bahasa kampungnya orang-orang Belanda, sang penjajah itu. Disebut Belanda sang penjajah, karena istilah tersebut selalu dikaitkan dengan politik adu domba yang dimainkan sang penjajah untuk memperluas daerah jajahannya. Bukan Belanda modern yang kita kenal sekarang. Belanda sebagai sebuah bangsa yang sekarang adalah sebuah bangsa yang sangat demokratis dan sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan, juga sangat transparan dalam pengelolaan pemerintahannya. Mereka pasti malu membalik lembaran sejarah, bahwa dulu pada abad ke-17, di bawah bendera kompeni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di Batavia, orang-orang Belanda itu paling gemar memainkan politik adu domba.

Politik adu domba atau politik pecah belah sebenarnya adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Dalam politik adu domba ini konflik sengaja diciptakan. Perpecahan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa menentang kekuasaan, entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai, kelompok di masyarakat, dan sebagainya. Pihak-pihak atau orang-orang yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan, pada saat yang sama mereka yang tidak bersedia bekerjasama, dipinggirkan. Ketidakpercayaan terhadap pucuk pimpinan partai atau kelompoknya sengaja diciptakan agar partai atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya tidak hanya ketidakpercayaan, bahkan permusuhan pun disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Dan praktik itu menjadi sangat subur di tengah perang media yang bebas tak terkendali.

Belanda penjajah itu misalnya, menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan.

Di tengah masyarakat kita dewasa ini, di tengah media yang sangat liberal, praktik adu domba itu menjadi tontotan sehari-hari. Kita secara vulgar disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan isu dilakukan sedemikian rupa untuk saling menghancurkan.

Kalau masyarakat kita suka diadu-adu, mudah terpancing isu, melalap mentah-mentah berbagai desas-desus sehingga tanpa pikir panjang langsung terlibat dalam konflik, maka kita sebenarnya masih hidup seperti di era VOC, atau kita tak lebih dari domba yang siap diadu kapan saja dimana saja. Mau-maunya.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun