Oleh drh Chaidir
MENCARI kambing hitam di gedung DPR atau di gedung DPRD, atau di kantor pemerintah, atau di gedung mahkamah peradilan, atau di hotel-hotel berbintang, atau di mal-mal mewah, dewasa ini jauh lebih mudah daripada mencari kambing hitam di pasar-pasar hewan atau di padang penggembalaan ternak. Bahkan di tempat-tempat yang disebut pertama, kambing hitam yang berlidah hitam pun ada. Tergantung kebutuhannya saja. Wani piro? Hehe...
Hal itu disebabkan karena kambing hitam yang dijumpai di pasar hewan atau di kebun-kebun petani, jauh kalah populer, kalah jumlah, dan kalah kualitas dibanding kambing hitam sebagai sebuah perumpamaan. Sebagai perumpamaan, kambing hitam tak akan pernah punah. "disembelih" jutaan ekor sekali pun setiap tahun. Selama ada nafsu angkara murka, selama ada kekuasaan yang menghalalkan segala macam cara, selama ada politisi busuk, selama ada pemimpin yang pura-pura baik, selama ada ketidakjujuran, selama ada kemunafikan, selama itu pula kambing hitam ada di sekitar kita. Seseorang atau sekelompok orang yang tak berdosa selalu dijadikan tumbal atau dikorbankan.
"Politik kambing hitam" atau Scapegoat politics biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari untuk menimpakan kesalahan kepada pihak lain atas sebuah masalah. Pihak yang menjadi tumbal atau kambing hitam, ada yang menyadari melalui sebuah skenario dan penuh kerelaan menjalaninya dengan imbalan tertentu, tetapi ada juga yang tidak menyadari bahwa dia telah menjadi korban dari sebuah konspirasi. Tetapi ada juga yang ngotot menyebut dirinya sendiri sebagai kambing hitam untuk membuat sebuah pembenaran terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya sendiri.
Praktik politik kambing hitam akrab dengan kondisi ketika para pemimpin dan para politisi gemar memutarbalikkan fakta, tidak segan-segan menyusun rekayasa untuk menjadikan pihak lain yang seakan-akan bersalah. Pemimpin yang memiliki gaya otokratis, tidak pernah merasa bersalah. Pemimpin seperti ini hobinya menimpakan kesalahan kepada bawahan dan orang-orang di sekitarnya sebagai kambing hitam. Dia memonopoli kebenaran dan tidak pernah merasa perlu meminta maaf. Pemimpin tipe seperti ini begitu jeli melihat kesalahan orang lain, dan kemudian dengan kekuatan politik uang dan jaringan, bahkan ancaman, menciptakan opini bahwa mereka tidak bersalah, pihak lainlah yang bersalah. Praktik politik kambing hitam seperti ini adalah praktik mafia politik rendahan. Mereka menjaring kambing hitam sebanyak-banyaknya untuk merebut kekuasaan dan harta tujuh turunan.
Kasihan sekali. Ternak kambing hitam yang dipelihara peterrnak itu, sama sekali tidak menyadari citra negatif yang melekat pada diri mereka. Apa salah dan dosa nenek-moyang mereka sehingga manusia selalu menyebut kambing hitam sebagai pihak yang harus dipersalahkan, atau pihak yang harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak mereka lakukan?
Apa dan siapa yang hendak kita jadikan kambing hitam sehingga kambing hitam sekarang berkembang biak tak terkendali? Institusi pendidikankah? Institusi agamakah? Sebab kegemaran mencari kambing hitam atau mengorbankan pihak lain adalah gambaran terhadap rendahnya akal budi masyarakat kita. Sebuah keteladanan yang buruk. Bila demikian, tentulah ada sesuatu yang salah yang bisa dijadikan kambing hitam. Sayangnya, kini tak lagi jelas siapa yang mengkambinghitamkan siapa. Jangan-jangan kita semua sudah jadi masyarakat kambing hitam. Alamaaaak....
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H