Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Gagal

29 Juni 2012   01:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:26 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

KALAULAH Lady Gaga sempat baca berita miring tentang publikasi Indeks Negara Gagal itu, yang menyebut Indonesia sebagai Negara gagal, dia pasti ketawa terpongkeng-pongkeng (stadium lanjut dari terpingkal-pingkal), atau barangkali akan menambah tato di tubuhnya dengan tulisan, "Lady Gagal Lu Gagal"...hahaha...

Ketika Lady Gaga gagal manggung di Indonesia, nama Lady Gaga diplesetkan menjadi Lady Gagal. Sekarang senjata makan tuan. Ternyata, justru kita yang disebut Negara gagal, asli bukan plesetan. Agaknya benar seperti yang diingatkan oleh para sufi, ketika satu jari menuding orang lain, pada saat yang sama tiga jari menuding diri kita sendiri. Rasa-rasanya, bukankah banyak artis penyanyi dangdut kita yang berpakaian superketat dan bergoyang sangat sensual di atas panggung layar kaca yang melebihi Lady Gaga? Tapi sudahlah, isu Lady Gaga sudah basi. Sekarang kita lihat "gagal" versi lain, yang - kalau benar - daya rusaknya lebih dahsyat.

Ulah lembaga nirlaba The Fund for Peace memang bikin kuping kita merah membara. Betapa tidak. Hasil kajian yang mereka publikasikan ke seluruh dunia, menempatkan Indonesia sebagai wilayah dalam bahaya (in danger) dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index) 2012. Berdasar hasil riset yang diumumkan di Washington, Senin (18/6) yang disiarkan secara luas oleh media cetak/elektronik dan media on line, Indonesia berada di peringkat ke-63 di antara 178 negara.

Peringkat nomor 1 adalah Somalia, nomor 2 Republik Demokratis Kongo. Negara Finlandia berada di peringkat 178, artinya, Finlandia paling baik, jauh dari wilayah gagal. Finlandia bolehlah disebut sebagai negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo (negeri yang berlimpah hasil buminya, negeri yang tertata, tenteram dan sejahtera). Untung (kita selalu untung; untung patah-patah tidak mati, untung hanya kursi stadion utamanya yang dibongkar tidak rumputnya...hehe...maaf), peringkat kita masih lebih baik daripada Myanmar, Timor Leste, Kamboja, serta Laos. Bagaimana dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura? Mereka lebih baik, jauh dari wilayah gagal.

Sebenarnya Indonesia belum Negara gagal, tapi menuju ke Negara yang benar-benar gagal bila cara kita mengelola pemerintahan tak mengalami perbaikan dan egoisme semua pihak terus tak terkendali. Kita tidak perlu malu. Bahkan Amerika Serikat pun pernah masuk wilayah berbahaya. Mereka tidak segan-segan menyebut Americans at risk. Mereka langsung mengidentifikasi masalahnya tanpa basa-basi, penyebab pokoknya antara lain, birokrasi yang tidak kompeten.

Publikasi The Fund for Peace itu memang tidak perlu dibesar-besarkan tetapi menganggapnya angin lalu juga tak bijak. Jujur saja, aspek ekonomi ok, tapi aspek lain seperti aspek ideologi, politik, hukum, dan sosbud bangsa kita, umumnya menurun kualitasnya. Dan kambing hitamnya adalah kita semua. Kusut masai.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun