Oleh drh Chaidir
GILA. Penggemar sepakbola dibuat gila. Partai terakhir Liga Primer Inggris yang mempertemukan tuan rumah Manchester City vs Queen Park Rangers (QPR) pada Minggu malam (13/5/2012) kemarin, sungguh-sungguh membuat penonton berdebar-debar hebat. Pendukung fanatik City dibuat sport jantung sepanjang pertandingan. Betapa tidak. Manchester City adalah pimpinan klasemen Liga Primer sedangkan QPR adalah penghuni papan bawah, bahkan meleset sedikit saja akan terpelanting dari Liga Primer. Namun yang terjadi selama 90 menit waktu normal, justru Manchester City yang berambisi menang dan menguasai pertandingan, ketinggalan 2-1. Pendukung City sudah banyak yang frustrasi dan tidak sedikit yang menangis sebagaimana terlihat dilayar kaca.
Tapi bola itu bundar. Detik-detik terakhir, City secara mengagumkan menyarangkan dua gol ke gawang QPR. Dan Manchester City pun menjadi juara Liga Primer Inggris 2012, setelah 44 tahun selalu jadi pecundang. Begitu peluit panjang berbunyi, para pendukung City berhamburan ke tengah lapangan memeluk pahlawan-pahlawan mereka, berjingkrak-jingkrak, dan menjerit kesetanan.
Begitulah sepakbola. Olahraga ini tak bisa disangkal menjadi olahraga paling digemari di seluruh dunia. Peraturannya mudah dipahami. Tim yang bisa memasukkan bola ke gawang lawan lebih banyak dari bola yang masuk ke gawangnya sendiri, tampil sebagai pemenang. Tak peduli siapa yang mencetak gol, boleh pemain lawan boleh dari tim sendiri. Sepakbola juga menjadi olahraga yang terbebas dari isu rasis atau SARA. Apalagi politik. Sepakbola steril dari intervensi politik.
Minggu pagi, beberapa jam sebelum pertandingan City vs QPR yang menegangkan itu, ribuan kilometer jaraknya dari Itihad Stadium, dipisahkan oleh dua samudera dan dua benua, saya menyaksikan pertandingan final cabang olahraga sepakbola dalam pekan olahraga dan seni Sekolah Dasar (O2SN) se-Provinsi Riau, di Lapangan Jalan Thamrin, Pekanbaru. Perebutan juara tiga Tim SD Kabupaten Indragiri Hilir vs Kabupaten Rokan Hulu, skor 4-2. Puncaknya, perebutan juara satu, Tim SD Kota Pekanbaru vs Tim SD Kabupaten Kampar, skor 3-2 sama seperti kemanangan City atas QPR.
Terus terang saya terkesima melihat bakat anak-anak SD yang tampil dalam dua pertandingan final tersebut. Beberapa orang diantaranya tampil dengan teknik penguasaan bola yang bagus. Operan-operannya pun cantik. Sebelas gol yang tercipta dalam dua pertandingan tersebut adalah gol yang berkualitas. Sayang sebuah crossing dengan kaki kiri yang diberikan oleh pemain no 8 Pekanbaru, gagal ditanduk oleh pemain no 10 padahal penyerang ini sudah terbang menyongsong bola. Dia terlambat sepersekian detik. Andai itu berbuah gol maka gol itu adalah gol kelas dunia.
Kita sebenarnya banyak memiliki anak-anak yang berbakat, tetapi kemudian sebagian besar layu sebelum berkembang. Penyebabnya ada beberapa faktor. Pertama, kita minus sekolah sepakbola yang diurus secara baik (minim fasilitas dan pendanaan). Kedua, kita tidak memiliki lapangan sepakbola yang bagus. Lapangan kita umumnya berlobang-lobang, rumputnya sama sekali tidak terawat. Ketiga, anak-anak kita yang berbakat itu tidak diperhatikan gizinya, sehingga cenderung tumbuh seperti tanaman tanpa pupuk.
PSSI harus memberi perhatian serius pada pembinaan sepakbola terutama untuk anak-anak yang berbakat. Kita memimpinkan adanya pemain-pemain kita bermain di Liga Primer Inggris, Liga Primera Spanyol, Serie A Italia atau di Bundesliga, Jerman. Bila mimpi jadi kenyataan, pasti membangkitkan semangat seperti baner raksasa yang mencolok di tribun selatan Stadion Etihad itu, "Loud, Proud and Loyal". Heboh, bangga dan membangkitkan kecintaan.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H