Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Buang Badan

19 Maret 2012   12:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

SISTEM multi partai dianggap cocok untuk negara yang memiliki tingkat keanekaragaman budaya dan politik seperti Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang terbuka dan berpaham demokrasi, rakyat Indonesia terlalu besar dan terlalu majemuk untuk hanya diwakili oleh tiga kekuatan sosial politik seperti dimasa lalu.

Dengan aspirasi yang sangat bervariasi dan dilatarbelakangi oleh suku, agama, ras, dan pola hidup yang beraneka ragam, dan dinamika masyarakat yang tinggi, rasanya mustahil melakukan agregasi aspirasi secara sederhana. Aspirasi berkembang dengan sangat cepat seperti deret ukur. Namun demokrasi dengan sistem multi partai kelihatannya bukan satu-satunya pilihan bila ukurannya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata berupa kehidupan yang lebih baik. Sebab pada kenyataannya sistem pemerintahan presidensil yang telah menjadi pilihan bangsa sebagaimana digariskan dalam konstitusi kita, UUD 1945, kerepotan dengan sistem multi partai tersebut.

Partai politik yang mestinya adalah asset dalam sebuah bangsa yang berpaham demokrasi, seperti bangsa kita, justru telah menyandera bangsanya sendiri. Peran parpol yang berlebihan dan sangat demonstratif, telah menguasai simpul-simpul penting yang membuat bangsa ini tidak berdaya. Parpol yang seharusnya memberi kontribusi dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi bangsa justru sering menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Namun terlalu naïf bila kita mengatakan, masyarakat tidak butuh parpol. Membakar lumbung padi hanya untuk membunuh beberapa ekor tikus, bukan solusi. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan tidak ada pemilu tanpa partai politik. Partai politik adalah darahnya demokrasi.

Harus disadari, jumlah parpol yang banyak tidak relevan dengan demokrasi yang berkualitas. Namun, mengurangi jumlah parpol untuk membuat pemerintahan efektif dengan menggunakan pedang kekuasaan melalui fungsi pengaturan yang melekat pada Negara, bukanlah cara yang terpuji. Pengurangan itu harus alamiah oleh rakyat yang memiliki kedaulatan. Caranya adalah melalui pemilu yang luber dan jurdil. Rakyat tidak hanya dituntut cerdas menggunakan haknya dalam pemilu, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menentukan pilihannya.

Setelah rakyat menentukan pilihannya, maka ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold - PT) akan menjadi ukuran apakah perolehan suara sebuah parpol cukup untuk memperoleh kursi di parlemen atau tidak. PT adalah ambang batas perolehan suara minimal bagi partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen. Artinya, parpol yang memperoleh suara kurang dari persentase ambang batas, tidak berhak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD. Angka ambang batas itulah yang menjadi tarik ulur tak berujung pangkal dalam pembahasan revisi UU No 10 /2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dalam beberapa bula ini.

Ambang batas parlemen akan membuat sistem kepartaian kita menjadi lebih rasional Pertanggung jawaban partai akan menjadi lebih jelas. Kalau partai terlalu banyak, apalagi tidak ada pemenang mayoritas seperti sekarang, memudahkan parpol untuk melakukan politik buang badan alias saling lempar tanggung jawab.

Tentang Penulis : drh Chaidir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun