Oleh drh Chaidir
HUKUM tak lagi mampu memberi rasa keadilan. Sesuatu yang terang benderang menurut akal sehat masyarakat, menjadi samar-samar di meja hijau. Cahaya seakan tersekat tirai sehingga proses di meja hijau terlihat buram.
Barangkali tak sepenuhnya dosa itu bisa ditimpakan demikian saja kepada majelis hakim yang mengadili sebuah perkara, walaupun kita tahu semua hakim adalah manusia, bukan malaikat atau para dewa dalam mitos Yunani kuno. Artinya, bisa saja sebuah vonis hakim yang dirasa tidak adil jatuh akibat faktor kelemahan manusia. Yang namanya manusia, ketika berada di kebun binatang, mengaku dirinya makhluk sempurna karena dibekali akal budi. Tetapi ketika berbuat dosa, manusia mengaku sebagai makhluk lemah yang tak luput dari kesalahan.
Terlepas dari faktor manusia sang hakim, dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini memang sangat tinggi. Pusaran dinamika kehidupan bergulung-gulung hebat dan bergerak cepat laksana angin puting beliung, dan pusaran itu tak terkejar dan tak terimbangi oleh sistem hukum yang berlaku. Senjata para hakim cepat terlihat usang di tengah gemerlapan perkara dan sasaran bidik yang bergerak cepat.
Realitanya, sia-sialah masyarakat menanti vonis hakim yang menjerakan bagi para koruptor. Yang menjadi tontonan masyarakat adalah vonis yang terasa tidak adil dan perdebatan silang sengketa kasus di ruang media. Akibatnya bangsa kita kehilangan momentum untuk melakukan bersih-bersih. Kita semua tahu, pemerintahan yang bersih dengan tata kelola yang baik adalah kondisi mutlak yang diperlukan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukannya dan tegak dengan penuh harga diri.
Namun, kita seringkali tidak lagi satu bahasa untuk memaknai hal-hal yang paling sederhana sekali pun. Kejahatan yang terkemas secara rapi dalam proses persidangan dengan mudah mengalahkan kebenaran yang tak terkawal dengan baik. Mitos kebaikan pasti menang melawan kejahatan kelihatannya tinggal sepenggal kisah yang hanya ditemui dalam kurun kehidupan kenabian, atau dalam layar perak film-film bollywood.
Sekarang kebaikan bahkan harus dibela dengan uang dan kelicikan. Di ruang-ruang perdebatan yang digelar dengan sangat bernafsu oleh media massa, opini bisa digiring, dan kebaikan yang tak terargumentasikan dengan baik lagi-lagi dikalahkan oleh kejahatan yang dirias cantik.
Lihatlah penanganan kasus lumpur Lapindo, kasus BLBI, kasus Bank Century, kasus Anggodo, kasus mafia pajak Gayus, kasus rekening gendut para petinggi oknum kepolisian dan kepala daerah, dan lain-lain, kelihatannya tak terkejar oleh sistem hukum kita.
Melalui kepiawaian adu dalil dan jurus para punggawa hukum, satu demi satu kasus gergasi itu berubah menjadi bonsai dan sangat mengecewakan masyarakat. Padahal mestinya, kasus-kasus tersebut merupakan momentum terbaik bangsa ini untuk melakukan pembersihan dan memulai hidup secara wajar dan patut. Sayang sekali momentum itu terlewatkan demikian saja.
Kini kasus Nazaruddin. Kasus gergasi ini merupakan momentum emas untuk buka-bukaan topeng. Bila kasus ini tidak berkembang abu-abu, Presiden SBY berpeluang menjadi hero bagi bangsanya, bagi tegaknya hukum yang berkeadilan, bagi sebuah nilai kejujuran, sekaligus juga bisa menyelamatkan partainya yang telah berikrar mengusung etika politik bersih, cerdas, santun, sebagai salah satu pilar demokrasi di negeri ini.
Catatan : Gergasi = Raksasa
Tulisan-tulisan lain dapat di lihat di http://bungchaidir.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H