Oleh drh Chaidir
PEMBACA yang budiman boleh setuju boleh tidak. Tapi ini sebuah kenyataan. Belum semua guru bergembira di hari ulang tahun mereka (HUT PGRI) yang ke-66 pada 25 November 2011 tiga hari lalu. Mengapa? Ternyata ada kasta di antara mereka dalam soal pendapatan. Perbedaannya itu bak langit dan bumi (Riau Pos, 27/11/2011 halaman 13).
Kasta dimaksud dalam Liputan Khusus, Riau Pos itu, adalah soal pendapatan. Sudah diketahui secara umum, untuk gaji guru PNS sekarang tak ada masalah. Alhamdulillah, mereka bisa hidup secara layak. Namun gaji untuk sebagian guru honor dan guru-guru tetap yang mengajar di sekolah swasta masih sangat memprihatinkan. Mereka umumnya hanya dibayar berdasarkan jam mengajar selama satu minggu bukan satu bulan. Inilah yang disebut dengan jam mati. Kalau mereka tak mengajar, berdiri di depan kelas, maka ibarat taksi, argometernya juga ikut mati. Akibatnya gaji mereka jauh dibawah UMR (Upah Minimun Regional) yang berlaku di tiap daerah. Nasib guru tetap yang mengajar di sekolah swasta gurem atau miskin lebih parah. Mereka banyak yang dibayar hanya 600-800 ribu per bulan, walaupun mereka sudah mengabdi berpuluh tahun. Di beberapa daerah bahkan dijumpai para guru honorer hanya diberi gaji 250-300 ribu per bulan.
Kenyataan itu menyadarkan kita betapa masih banyaknya masalah pendidikan yang menjadi pekerjaan rumah kita. Justru “PR” itu adalah pada jantung pendidikan itu sendiri, yakni masalah nasib guru. Sudah 66 tahun PGRI berdiri, sama tuanya dengan Republik ini, selama itu pula kita telah mengelola sekolah agar semakin hari hasilnya semakin bermutu. Kita bertolak dari asumsi bahwa untuk melahirkan hasil pendidikan yang bermutu, kita harus mempunyai angkatan guru yang bermutu pula. Karena itu, tidak semua orang diberikan kewenangan mengajar. Prof Winarno Surachmad menyebut, guru adalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antara dua generasi: generasi tua dengan generasi muda, lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan.
Tidak bisa dipungkiri, guru memegang peranan strategis terutama dalam mendidik dan membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian. Dari dimensi tersebut peranan guru sulit digantikan oleh yang lain. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru dalam masyarakat Indonesia tetap sangat dominan, sekalipun teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang amat cepat.
Kalau kita mau jujur, setelah orang tua, maka guru adalah sumber segala hal, meskipun memiliki batas-batas tersendiri. Dari gurulah kita mengetahui hal-hal dasar, yang kemudian dasar itu menjadi instrumen pikiran yang sangat penting untuk bermain dalam ruang penegetahuan yang lebih luas, menjadikan kita orang-orang terpelajar.
Melihat besarnya peran guru maka menjadi hal yang menyesakkan dada ketika guru hanya dipandang sebagai sebuah pekerjaan, bekerja dan kemudian dibayar. Guru tidak hanya pekerjaan. Guru mendidik sepanjang hidupnya. Jamnya tak boleh mati.
Tentang Penulis http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H