Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menteri Egaliter

6 November 2011   13:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

PANGGIL saja saya Dahlan, jangan Pak Menteri. Ucapan itu dilontarkan oleh Meneg BUMN Dahlan Iskan (DI) baru-baru ini (Riau Pos , 5/11 hal 1). Alasan Pak Menteri...eh...Pak Dahlan, sederhana saja, namanya memang Dahlan. Jabatan Menteri Negara BUMN itu hanya tiga tahun, sedangkan nama Dahlan dibawa sepanjang masa. Iya juga ya?!

Atau barangkali, DI tak nyaman dipanggil Pak Menteri. Sebab di kampungku, misalnya, warga tak bisa membedakan Menteri selaku Pembantu Presiden dengan mantri hewan atau mantri kesehatan. Semuanya disebut mantra, semuanya dianggap sama saja.  Tak peduli mereka bahwa Menteri Pembantu Presiden itu anggota kabinet, nun tinggi di awang-awang, hitam katanya hitam, putih katanya putih. Seorang Menteri melaksanakan sebagian tugas Presiden di bidangnya, sedang mantri kesehatan atau mantri hewan misalnya, tugasnya membawa jarum suntik  keluar masuk desa. Mantri kesehatan menyuntik orang, mantri hewan menyuntik sapi atau kambing, tak boleh terbalik.

DI bukan takut dipanggil pak mantri. DI memang dikenal sebagai sosok yang merakyat dan rendah hati (humble). Bukan karena DI sudah ganti hati. Jauh sebelum dia ganti hati sungguhan, dia sudah rendah hati. DI selalu tidak memosisikan dirinya sebagai boss, walau dia telah memenuhi semua persyaratan sebagai boss dan berhak dipanggil boss. DI tanpa disebut, agaknya seorang penganut  egalitarianisme, sebuah paham yang memandang bahwa manusia itu ditakdirkan sama sederajat.

Di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II setelah reshuffle, dalam cara yang sedikit beda, Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz juga dikenal di kalangan teman-teman dan lingkungannya sebagai sosok yang merakyat dan rendah hati. Hanya saja sosok Menteri yang satu ini belum dikenal luas seperti DI. Mungkin ada anggota Kabinet lainnya, yang juga rendah hati tapi belum terlihat oleh publik.

Masyarakat memang mendambakan seorang Menteri Kabinet yang punya kemampuan, terpercaya dan merakyat. Menteri yang memosisikan diri hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Dengan kata lain seorang Menteri yang tidak menjaga jarak dengan rakyat yang harus diurusinya. Masalah yang sering terjadi selama ini, justru kehendak rakyat dengan kehendak Negara yang direpresentasikan oleh Menteri tidak seiring sejalan. Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi misalnya, belum merupakan garansi kebutuhan rakyat akan menjadi nomor satu. Pembangunan seringkali menurut selera Menteri dan politisi, bukan menurut kebutuhan dasar rakyat. Agregasi aspirasi rakyat sering tidak fokus. Artikulasi aspirasi rakyat juga banyak ditunggangi kepentingan sempit.

Menteri egaliter, merakyat, rendah hati merupakan jaminan akan lebih banyak mendengar kehendak rakyatnya. Dan dengan modal kepemimpinan tersebut, sang Menteri akan mampu menggerakkan sumber daya yang ada di kementeriannya secara efektif dan efisien  untuk peningkatan kesejahteraan rakyat yang menjadi pemilik sah negeri ini. Semoga!

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun