Bunga Zahra - Program Studi Televisi dan Film
Dalam beberapa dekade terakhir, desain perkotaan modern telah berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi. Namun, satu fenomena yang sering kali muncul dalam pengembangan kota-kota besar adalah "placelessness" atau hilangnya karakter dan identitas tempat yang khas. Placelessness merujuk pada kondisi di mana sebuah ruang atau kota kehilangan keunikan lokalnya dan menjadi serupa dengan tempat lain, sehingga tidak lagi memiliki ciri khas yang membedakannya dari kota atau ruang publik lainnya.Â
Fenomena placelessness ini menjadi salah satu kritik utama terhadap desain perkotaan modern. Desain yang sering kali mengutamakan fungsi dan efisiensi sering kali mengabaikan nilai-nilai kultural dan sejarah yang melekat pada sebuah tempat. Kita dapat melihat ini dalam berkembangnya kota-kota besar yang dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang serupa, pusat perbelanjaan yang identik, dan ruang publik yang homogen, tanpa memperhatikan konteks lokal maupun budaya setempat. Placelessness juga berdampak pada hilangnya keterikatan emosional antara masyarakat dan tempat tinggal mereka. Ketika sebuah tempat tidak lagi memiliki karakter atau identitas yang khas, masyarakat cenderung merasa tidak terhubung secara emosional dengan lingkungan sekitar mereka.
 Hal ini berbeda dengan konsep "sense of place," di mana masyarakat memiliki keterikatan kuat dengan tempat tinggal mereka karena tempat tersebut memiliki makna historis, sosial, dan budaya yang kaya. Keterikatan emosional terhadap suatu tempat merupakan elemen penting dalam menciptakan komunitas yang kuat dan berkelanjutan. Ketika tempat-tempat publik dan lingkungan perkotaan kehilangan elemen-elemen yang unik, masyarakat cenderung merasa asing di tempat yang mereka tinggali, sehingga menurunkan rasa memiliki dan kebersamaan. Placelessness mengikis rasa identitas dan keterikatan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas hidup dan memperburuk kohesi sosial di lingkungan perkotaan.Untuk mengatasi placelessness, arsitek dan perencana kota perlu mempertimbangkan kembali pendekatan desain mereka dengan memperhatikan karakter lokal dan identitas budaya. Desain perkotaan yang baik seharusnya mampu menyeimbangkan antara kebutuhan modernisasi dan pelestarian elemen-elemen lokal yang penting.Â
Arsitektur yang mencerminkan sejarah, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat setempat dapat memperkaya pengalaman ruang dan memperkuat keterikatan masyarakat terhadap kota mereka. Penggunaan material lokal, perencanaan ruang publik yang relevan dengan kebutuhan komunitas, serta penghormatan terhadap lanskap alam setempat adalah beberapa cara untuk mempertahankan keunikan dan keindahan tempat. Selain itu, melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan kota juga penting agar kebutuhan dan aspirasi mereka dapat tercermin dalam desain ruang publik dan bangunan.
Placelessness dalam desain perkotaan modern adalah isu yang perlu mendapat perhatian serius dari para perencana kota, arsitek, dan masyarakat luas. Hilangnya identitas lokal dalam desain perkotaan tidak hanya mengubah wajah kota secara fisik, tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan psikologis masyarakat. Dengan kembali menghargai keunikan lokal dan mengintegrasikannya dalam desain, kita dapat menciptakan kota-kota yang tidak hanya fungsional dan modern, tetapi juga memiliki karakter, makna, dan keterikatan emosional yang kuat bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Desain perkotaan modern sering kali menghasilkan masalah yang dikenal sebagai placelessness, sebuah konsep yang merujuk pada hilangnya identitas unik suatu tempat akibat homogenisasi ruang perkotaan. Fenomena ini terjadi ketika desain kota dibuat dengan pola-pola yang seragam dan berfokus pada fungsi ekonomi atau efisiensi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal dan identitas historis wilayah tersebut. Di kota Jember, fenomena placelessness dapat terlihat pada beberapa proyek pembangunan modern yang tidak selalu mencerminkan karakter lokal. Misalnya, di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur, identitas Jember sebagai daerah dengan warisan budaya pertanian dan perkebunan mulai memudar di kawasan perkotaan. Area wisata seperti Rembangan masih mempertahankan beberapa ciri khas lokal, seperti lanskap alam yang indah dan budaya kopi setempat. Namun, di pusat kota, perkembangan infrastruktur komersial yang mengikuti desain global mulai mendominasi, membuatnya mirip dengan banyak kota lain di Indonesia.
Kesimpulannya, menghindari placelessness berarti tidak hanya merancang ruang yang efisien, tetapi juga yang bermakna. Dengan menjaga dan menonjolkan identitas lokal dalam desain perkotaan, Jember bisa menjadi contoh kota yang modern tanpa kehilangan jiwa dan sejarahnya. Pembangunan yang mengedepankan sense of place dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan dihargai oleh masyarakat setempat maupun wisatawan.
Referensi:
1.Sofiyah, U., Lestari, E. K., & Yunitasari, D. (2022). Perencanaan wilayah perkotaan melalui konsep smart city di Kabupaten Jember., REGION: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif, 17(1), 104-123.
2.Wiyono, D., Razziati, H., Laksmiati, T. (2014). Redesain Ojek Wisata di Rembangan.
3.Dameria, C., Akbar, R., Indradjati, P. N., & Tjokropandojo, D. S. (2020). Tinjauan Ulang Potensi Sense of place dalam Pelestarian Kawasan Pusaka Perkotaan. TATALOKA, 22(3), 379-392.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H