Aku melihatnya dari kejauhan. Dia sudah menungguku, aku menghampirinya dengan suka cita. Pertemuan sebulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali, tentu sangat kunantikan. Dia menungguku sambil membaca buku, begitulah Geranio Si Kutu Buku. Seperti biasa, kursi di sebelahnya sudah disiapkan untukku. Memesan menu, menu kesukaan kami, mie sapi lada hitam. Menunggu makanan datang, aku memulai pembicaraan. Terlihat dia masih sibuk dengan bacaannya. Kutanyakan buku apa yang sedang dibacanya, ternyata sebuah novel hasil karya sahabatnya. Aku mulai penasaran, kucoba meminjam, namun ia menolaknya. Aku diijinkan membacanya, setelah dia tamat, katanya dengan canda.
Makanan belum datang, namun dia harus segera pergi karena panggilan mendadak untuk menjamu tamu dari luar negeri yang datang ke kantor. Penuh penyesalan, dia memohon maaf padaku. Aku hanya mengangguk kecewa. Ya, aku harus merelakannya pergi. Bulan ini mungkin bulan yang tidak menguntungkan untuk kami bertemu. Berbeda Provinsi, yang membatasi kami untuk bertemu. Menghemat uang, itu yang selalu aku katakana padanya, walaupun dia bisa saja setiap minggu menemuiku, namun lebih baik ditabung saja uangnya.
Dia menitipkan tas padaku, tas berisi laptop untuk adiknya. Aku heran dia tidak membawa barang sama sekali lalu aku bertanya kembali, dia kembali menegaskan, dia memang tidak membawa bawaan lagi selain tas laptop untuk adiknya.
Kini, aku sendiri… bisa jadi berdua, dengan tas. Makanan baru saja datang. Aku menunduk murung, tidak nafsu makan. Aku memandang keluar, gerimis pun mulai membasahi teras kafe. Teringat kembali, pasti dia kehujanan. Aku berbalik memandang ke arah tas laptop, mencoba membukanya lalu kutemukan novel yang ingin kubaca tadi. ‘Meysa Rin’, terdengar indah namanya. Kubaca setiap lembar hingga aku pun membaca ‘thanks to…’ Geranio. Ya, nama Gera menempati posisi pertama, aku termenung. Kupikir, wajar saja, mereka bersahabat. Keheranan mulai merasukiku, teman lainnya perempuan semua hanya Gera saja lelaki yang tercantum di bukunya. Aku mencoba menutup buku, namun tetap saja aku masih penasaran. Kubuka kembali, halaman akhir untuk melihat ‘Tentang Penulis’, namun kutemukan selembar kertas merah muda.
Hai Gera, akhirnya aku bisa mewujudkan impianku menjadi seorang penulis, ini semua berkat motivasimu. Kamu yang membuat aku bersemangat untuk menulis. Tentunya kamu juga yang menyadarkan akan kemampuanku menulis. Terimakasih Gera atas semua kebaikanmu padaku, terimakasih kamu selalu menemaniku saat aku merasa jenuh menulis. Kamu orang yang baik Gera, itu alasan aku memiliki rasa padamu walaupun kamu tolak secara halus karena kamu sudah memilih Alia. Aku senang ketika kamu membantuku menulis hingga larut malam, lalu kamu selalu bilang ke Alia bahwa kamu sedang membantu temanmu menyelesaikan tugas. Terimakasih Gera, Terimakasih. I L Y
ILY? I Love You? Aku hanya bisa tertawa, tertawa lalu perlahan lahan air mata membasahi pipiku hingga akhirnya deras seperti hujan diluar sana. Aku tertawa kecil, tertawa dengan air mata. Aku merasa menjadi orang yang bodoh, merasa hubungan jarak jauh ini berjalan baik tapi nyatanya diluar sana ada wanita yang menginginkan memiliki Gera. Kubaca ‘Tentang Penulis’, sungguh sangat jauh prestasi dalam perjalanan hidupnya denganku ini. Aku disini malah bersantai ria dengan kuliah S2 ku. Alia yang malang, mungkin hanya dengan hitungan waktu beberapa bulan jika wanita itu tidak pantang menyerah, Alia akan ditinggalkan. Aku mencoba berkali kali mengetuk pikiran negatifku ini untuk segera menghilang. Pikirkan saja yang positif, bahwa Gera telah menolak Meysa dan lebih memilihku. Ayolah Alia, ambil yang positif saja, Gera menyembunyikan ini agar aku tidak terluka.
Handphone berbunyi, sms dari Gera. Dia sepertinya melupakan untuk menyingkirkan novel itu dariku. Gera menanyakan apakah aku membaca novel di dalam tas? Jawabku belum. Aku berbohong karena kamu pun berbohong. Pernyataanmu di sms untuk jangan meminjam atau membaca novel itu karena Ilmi (adik Gera) sudah menantikan novel karya Mbak Meysa. Kenapa harus berbohong dan menyembunyikan ini dariku, Gera? Itulah yang paling kusesali darimu. Walaupun kejujuranmu itu akan terasa pahit untukku, tapi setidaknya itu keluar dari mulutmu bukan dari apa yang kuperoleh sendiri.
Kesalahan Gera hingga novel ini bisa kudapatkan, Pertama, seharusnya dia tidak perlu membuka ataupun membaca novel itu dihadapanku karena pastiya aku akan bertanya. Kedua, untuk apa dia sms seperti ini padaku, pastinya aku akan penasaran karena tergambar jelas dari pesannya supaya aku tidak membuka novel. Ya mungkin ini diluar dugaannya, kiriman novel dadakan dengan terselip surat seperti ini. Begitulah, jika harus terjadi maka terjadi.
Maaf Gera, jika pertemuan di bulan berikutnya, aku merasa tidak senyaman dulu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H