Beberapa hari sebelum tanggal 22 Desember dan hingga tanggal itu, berbagai status tentang hari ibu, yang mengucapkan terima kasih kepada ibu berseliweran di media sosial yang saya miliki, entah facebook atau twitter. Sedikit diantaranya mengurai makna lebih dala dengan berkata hari perempuan atau hari pergerakan perempuan. Pun saya yang memasang status yang mengulik sedikit sejarah hari ibu di Indonesia dan memilih menulis "selamat hari perempuan" mengundang beberapa komentar, ada yang setuju dan ada juga yang memberikan jempol. Ini tentu saja bukan yang pertama kali, ketika saya memilih untuk alih-alih berucap hari ibu menjadi hari perempuan. delapan puluh empat tahun yang lalu, tiga puluh organisasi perempuan berkumpul di Jogjakarta dalam Kongres Wanita (Perempuan) Indonesia I. Kongres yang membahas berbagai persoalan perempuan kala itu, kemudian menghasilkan beberapa keputusan (sumber wartafeminis.wordpress.com):
- mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan
- pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan; dan segeranya diadakan peraturan yang memberikan tunjangan kepada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia
- memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds
- mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan anak-anak
- mendirikan suatu bdan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
- PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya.
Mengulik sejarahnya, hari ibu yang ditujukan tuk mengenang pergerakan perempuan di Indonesia (hmm, agak rancu juga menulis kalimat ini, soalnya saya belum pernah membaca isi dekrit presiden no. 39/1959 yang menetapkan hari ibu itu), rasa-rasanya mengalami pereduksian makna jika lebih menjadi ucapan terima kasih pada ibu (bukan berarti saya menentang untuk mengucapkan terima kasih dan menghargai jasa-jasa ibu), namun harusnya dimaknai pula lebih luas dibanding hal tersebut. Dan, apakabar perempuan Indonesia...? Membaca keputusan Kongres Perempuan I tersebut, membuat saya miris. Bagaimana tidak, persoalan yang dihadapi perempuan kala itu ternyata masih dialami perempuan-perempuan Indonesia saat ini. Sebut saja pernikahan siri, pernikahan kanak-kanak, yang paling hot tentu saja kasus pernikahan salah seorang bupati di suatu daerah di Jawa. Pengalaman tinggal beberapa saat di daerah pedalaman di Sumatra, menunjukkan perempuanlah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis (ini tentu saja sangat subjektif, karena saya hanya melihat di satu daerah saja, untuk lebih globalnya saya tidak tahu pasti tentang statistiknya). Dampak dari hal itu, perempuan yang sudah menjadi warga kelas dua, makin tepinggirkan; terkucil dari perkembangan tekhnologi (macam hp). Perempuan yang saya maksud di sini tentu saja tidak semua perempuan, karena kebanyakan perempuan muda telah bisa baca tulis. Jika melihat secara global, mungkin cukup menggembirakan. Lihat saja, banyak perempuan kini yang bekerja, mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, memiliki jabatan tinggi, dsb, dsb, namun jika melihat lebih dalam, mungkin belum banyak berita gembira yang didapatkan.. Karenanya, saya lebih memilih untuk memaknai 22 Desember sebagi hari pergerakan perempuan ketimbang jatuh dalam pereduksian makna hari ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H