Mohon tunggu...
Bunga nurmaulidyarr
Bunga nurmaulidyarr Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menganalisis Novel K.H. Abdurrahman Wahaid 1940-2009

17 Juli 2024   09:03 Diperbarui: 17 Juli 2024   09:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abdurrahman Wahid lahir pada bulan ke 4 penanggalan Islam (Agustus) tahun 1940. Diperkirakan ia lahir pada tanggal 4 Agustus. Namun penanggalan yang digunakan untuk menentukan tanggal lahirnya adalah penanggalan Islam, yaitu Ia dilahirkan pada tanggal 4 Syaban yang bertepatan dengan tanggal 7 September 1940. Abdurahman Wahid merupakan anak pertama dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyar Solichah. Seperti banyaknya tradisi abangan Muslim Jawa, mereka sering menggunakan nama ayah di belakang nama mereka sendiri. Gus Dur adalah anak yang tumbuh subur dan tidak bisa ditindas. Dengan kata lain, masa kecilnya tidak menyenangkan. Kelakuan buruknya ini mengakibatkan dia diikat dengan tali ke tiang bendera di halaman depan sebagai hukuman atas lelucon yang berlebihan atau sikap kasarnya. Pada usia dua belas tahun, lengannya patah dua kali karena hobinya memanjat pohon. Pertama, lengannya patah karena dahan yang dipijaknya patah. Lalu,dia hampir kehilangan tangannya. Saat itu, dia mengambil makanan dari dapur dan memakannya dari dahan pohon besar. Gus Dur mempunyai khas kualitas yang sangat istimewa. Yang membedakannya dengan tokoh Indonesia lainnya dari dulu hingga saat ini adalah gaya bicaranya yang terbuka dan tak kenal takut. 

Kepribadian Gus Dur memang tidak sempurna secara fisik, namun beliau mampu dan menjadi presiden, sehingga dapat dikatakan beliau merupakan salah satu kebanggaan Indonesia di tingkat dunia. Apalagi kepercayaan dirinya sangat tinggi. BAGUS. Ketika dia berkuasa atau kehilangan kekuasaan. Humor dan anekdot selalu segar dan muncul di setiap kesempatan, baik di acara resmi maupun tidak. Lalu menjadi pusat perhatian semua orang di grup mana pun untuk setia menunggu lelucon baru. Aspek lain dari Gus Dur yang membuatnya terkenal adalah senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan nilai-nilai kemanusiaan diwujudkan dalam kepeduliannya terhadap penderitaan kelompok kecil yang tertindas, termasuk kelompok minoritas. Untuk itu, ia rutin mengunjungi, mengunjungi dan membela hak-hak umat Kristiani. Jika mereka dihina, dan melindungi rakyat Tiongkok, yang telah mengalami banyak peristiwa tragis, termasuk penindasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Semua itu ia perjuangkan dengan ketabahan, keuletan dan dedikasi. Pemikirannya bisa dibilang magis karena ia kerap mencapai terobosan-terobosan unik. Semua pergerakannya mencakup berbagai topik populer mulai dari demokrasi, nasionalisme, politik, isu-isu sosial, PBB, pesantren, dan geopolitik. 

Dengan demikian, Gus Dur menjadi tokoh yang dikagumi banyak orang, sekaligus mendapat banyak lawan. Demikian pula perjuangan dan pemikiran Gus Dur, penuh semangat dan keuletan, rasa percaya diri, hingga akhirnya membawa banyak penafsiran yang berbeda-beda, banyak pengagum yang berbeda-beda, dan banyak pula jenis penentangnya.Tak heran jika kita temukan terlihat dalam bidang pemikiran dan perjuangan Pemuda NU mengikuti perjuangan dan pemikiran Gus Dur pada masa sebelum Reformasi hingga ia berkuasa. melahirkan kelompok-kelompok kiri, kelompok liberal, kelompok mistik serta kelompok konservatif di lingkungan NU sendiri. Kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dipimpin oleh Uin Absar Abdalla merupakan kelanjutan dan cara mereka menggali pemikiran Gus Dur. Mereka membuka penafsiran kebenaran yang berbeda-beda, sehingga menciptakan keberagaman dan pada akhirnya menghindari munculnya kekakuan dalam kehidupan kita sehari-hari dan dalam situasi kita sehingga tidak timbul kekacauan ingin mengalahkan atau diktator sendirian dan melahirkan oligarki.  Sebelumnya kita menyaksikan lahirnya LKIS (Lembaga Kajian Sosial dan Islam) yang dipimpin oleh panglima asli Imam Aziz.

Kemudian diikuti dengan pembentukan Fordem (Forum Demokrasi). Namun, sebagai salah satu pemimpin dan bisa dibilang pemimpin organisasi terbesar di dunia saat itu, NU, pandangan Gus Dur menjadi pertimbangan banyak orang oleh pemerintahan otoriter Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto dan para pengikutnya. Dan menariknya, Gus Dur dalam memimpin perlawanannya mampu menarik kekuatan di luar NU, seperti aktivis, LSM, sosialis, nasionalisme demokratis dan beberapa kritikus lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan GusDur menjadi tokoh penting di kelompok Ciganjur, bersama Amien Rais, Sri Sultan HB Pada tahun 1998, LSM dan masyarakat Indonesia sendiri bersatu untuk mencari solusi terbaik agar perubahan politik tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial yang signifikan dan tidak banyak korban yang tidak bersalah jatuh. Jadul Mauta, sebagai seorang representasi bagaimana mereka mengacu pada cara berpikir Gus Durvana ketika berbicara tentang pertahanan. Meski begitu, Gus Dur bukanlah sosok yang hanya berani mengkritik dan tak rela dikritik saat ia berkuasa. Ia ikut serta dalam pembangunan bangsa dan proses demokrasi, bersama masyarakat dengan mendirikan partai PKB dan mengikuti pemilu. 

Dan hal itu terbukti ketika ia menjadi Presiden RI ke-4 menggantikan Habibie yang sudah tidak dipercaya lagi oleh masyarakat legislatif semasa berkuasa, khususnya terkait lepasnya Pulou TimorTimor. Pada masa pemerintahannya. Gus Dur menjelaskan mengapa kekuasaan yang disebut lembaga presidensial tidak seseram biasanya. Orde Baru Gus dur ingin konsep kekuasaan dekat dengan rakyat, tidak jauh dari mereka. Hal ini tak lain karena Gus Dur menyadari bahwa sumber kekuasaan dan wewenang ada di tangan rakyat. Pada masanya, ia berusaha membangun persatuan di antara seluruh warga dan anak bumi Indonesia, seperti pidatonya di pencabutan Ketetapan MPRS yang melarang ideologi dan pembatasan hak asasi kaum sayap kiri, atau PKI, meskipun wacang dianggap kontroversial dan menghasut. Pada masa pemerintahannya, Gus Dur juga mengakui keberadaan agama Tionghoa melalui ketetapan presiden. Konfusianisme adalah salah satu agama resmi negara. Pada masa pemerintahannya, ia melakukan reformasi di angkatan bersenjata dengan memisahkan tugas dan wewenang antara ABRI dan Polri. Saat menjabat presiden, ia memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengkritik kebijakannya jika dianggap salah atau kurang tepat. 

Selain itu, ia juga melakukan perjalanan keliling dunia untuk menginformasikan kepada para kepala negara maju dan berkembang bahwa Indonesia selalu terbuka terhadap investasi. Perjalanan ini bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada pihak asing bahwa Indonesia sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi dan berharap mereka memberikan dukungan moral tanpa ikut campur yang dapat mengganggu situasi politik, terutama setelah kemerdekaan. "Timor-Timor pada masa pemerintahan Habibie. Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan koalisi demokrasi runtuh ketika ia diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden. Gus Dur konsisten dalam perjuangannya untuk kemanusiaan. Pembelaannya terhadap Inul Daratista dan jemaat Ahmadiyah hanyalah contoh kecil dari perjuangannya di bidang pluralisme dan humanisme di Indonesia. Ia juga mengkritik pemerintahan terkait masalah BBM, penjualan aset negara, dan kasus korupsi di masa pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bukti pengabdiannya kepada negara meskipun ia sudah tidak berkuasa. Namun demikian, ia selalu menggunakan cara-cara yang sesuai hukum dalam perjuangannya. Gus Dur tidak pernah menggunakan aksi kekerasan dalam perjuangannya.

Bahkan, pada saat-saat terakhir sebelum meninggal dunia, ia menjaminkan dirinya untuk membebaskan para pemberantas korupsi di KPK, Bibid dan Chandra, yang dianiaya oleh para "markus." Ia juga mendesak pemerintahan SBY untuk transparan dalam kasus Bank Century. Dari berbagai peristiwa tersebut, kita dapat melihat konsistensi perjuangan dan pemikiran Gus Dur terhadap humanisme, pluralisme, dan demokrasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Gus Dur memiliki massa yang ideologis, meskipun beberapa tingkah lakunya dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan. Namun, Gus Dur adalah manusia biasa yang juga tidak luput dari kesalahan. Prinsip kita dalam menilai beliau adalah secara utuh dan adil, karena beliau sendiri sebenarnya tidak senang jika hanya dipuji. Dalam buku ini, penulis ingin menghadirkan perjuangan dan pemikiran Gus Dur, serta bagaimana kita menempatkannya sebagai Guru Bangsa. Apa saja yang patut kita tiru dan apa yang tidak bisa kita tiru karena itu memang karakter khasnya. Gus Dur adalah milik seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya milik NU, PKB, atau LSM. Berkeindonesiaan tercapai dengan semangat saling membutuhkan satu sama lain. 

Barangkali bisa dikatakan, tanpa Gus Dur, LKIS tidak akan tercatat dalam sejarahnya. Sebelumnya, kita mengenal P3M (Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat) yang dipimpin oleh Masdar Farid Mas'udi dan A.S Burhan, yang menyebarkan wacana pesantren dan masyarakat. Konsep ini sering dipakai oleh Gus Dur sebagai komponen masyarakat yang perlu dikembangkan dan diberdayakan untuk meningkatkan sumber daya manusia serta membawa perubahan dan kemajuan yang berkelanjutan secara emansipatoris. Dalam lembaga ini, Gus Dur berperan aktif pada masa awal pendiriannya ketika ia masih bekerja di LSM LP3ES, Jakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul LSM Syarikat yang dipimpin oleh Imam Azis setelah ia melepaskan kepemimpinan di LKIS. Lembaga ini berfokus pada tradisi kiri di tanah air dan hubungan PKI-NU yang pernah terluka parah dan berusaha perlahan-lahan menyembuhkannya. Lembaga ini berusaha mengembalikan hak-hak ekonomi, sosial, politik, dan budaya para korban peristiwa tragis 1965 agar dampaknya tidak terus dirasakan oleh anak cucu kita, serta mengadakan rekonstruksi dan perdamaian sejarah untuk menciptakan kesatuan dan rasa kebersamaan yang utuh kembali. Pada masa Orde Baru, Gus Dur dikenal sebagai salah satu tokoh yang kritis dan berani mengkritik kebijakan Soeharto.

Ia mengkritik pemerintah dalam proyek Kedungombo dan menentang tindakan semena-mena pemerintah yang memberangus majalah Monitor. Ia juga mengkritik pemerintah yang sengaja memelihara dan menciptakan suasana politis sektarian dengan pendirian ICMI. Sebelum Gusdur menjabat menjadi presiden, ia sempat bersekolah di beberapa daerah yang cukup terkenal. Gus Dur mengawali pendidikannya di Jakarta, bersekolah di SD KRIS di Jakarta Pusat. Namun, ketika kelas empat, ia pindah ke SD Matraman Perwari. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan SMP di Yogyakarta, di mana ia tinggal di rumah K.H. Junaidi, anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah. Pendidikan dasar dan menengah Gus Dur berbeda dengan kakek dan ayahnya yang tidak pernah merasakan pendidikan sekuler. Gus Dur merupakan generasi santri yang sejak awal menerima pendidikan modern. Meskipun demikian, ia juga mendapatkan pendidikan santri dari kedua orang tuanya, belajar bahasa Arab sejak kecil, dan memiliki kemampuan membaca Al-Qur'an dengan baik. Ketika remaja, ia mempelajari bahasa Arab secara sistematis. Saat bersekolah di SMEP Yogyakarta, ia juga belajar di pesantren Al Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu dengan K.H. Ali Mas'hum.

 Selain itu, sejak kecil, Gus Dur sudah akrab dengan seni, baik seni yang ada di pesantren seperti berjanji diba' dan hadrah, maupun musik Barat, terutama musik klasik karya Beethoven, yang dikenalkan oleh teman ayahnya, Williem Iskandar Bueller. Dari sini, terlihat bahwa Gus Dur sejak kecil telah mengenal berbagai jenis musik. Pesantren maupun musik klasik Barat tentunya memengaruhi bagaimana Gus Dur kemudian menampilkan dirinya sebagai sosok yang pluralis. Di kota Jogja, minat baca dan dahaga Gus Dur akan ilmu pengetahuan mulai muncul dan semakin meningkat pesat. Kota Jogja, sebagai kota pelajar dengan kehadiran universitas-universitas dan banyak toko buku, menyediakan banyak buku yang dimiliki oleh kenalan gurunya, gurunya sendiri, atau pemilik rumah kos tempatnya tinggal. Di sinilah Gus Dur mengalami masa-masa mencintai buku dan sering mengunjungi toko buku secara rutin. Di kota Jogja ini pula, ia mulai menyukai pertunjukan wayang kulit. Selain itu, ia juga gemar dan sering menonton film di bioskop, sering kali dengan cara mencuri waktu belajarnya. Semua ini dilakukannya karena pelajaran di pesantren relatif mudah ia kuasai tanpa perlu belajar secara serius, atau mungkin ini adalah kelanjutan dari kenakalannya sejak kecil menuju petualangan masa remajanya.

 Di sinilah kita melihat bagaimana dunia pertunjukan atau sandiwara yang disukai oleh Gus Dur sangat beragam, bahkan bisa dikatakan bertolak belakang, antara seni modern dan seni tradisional. Oleh karena itu, ia selalu mempertahankan tradisi sambil tetap mengikuti perkembangan yang ada. Fase belajar dari Jogja hingga Magelang telah memperluas bacaannya dengan segala keragaman, mulai dari cerita silat karya Ko Phing Ho hingga novel-novel Barat. Ia juga mendalami karya-karya klasik pemikir Barat dan para aktivis perubahan dunia, seperti Karl Marx dan Lenin. Untuk ukuran usianya saat itu, membaca buku-buku tersebut adalah hal yang luar biasa. Pesantren dan musik klasik Barat memengaruhi bagaimana Gus Dur kemudian menampilkan dirinya sebagai sosok yang pluralis. Di kota Jogja, minat baca dan kehausan Gus Dur akan ilmu pengetahuan muncul dan semakin berkembang pesat. Kota Jogja, sebagai kota pelajar, memiliki banyak universitas dan toko buku, serta buku-buku milik kenalan gurunya, gurunya sendiri, atau bapak kosnya. Di sinilah Gus Dur mulai mencintai buku dan rutin mengunjungi toko buku. Di Jogja, ia juga mulai menyukai pertunjukan wayang kulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun