Lalu diaktualisasikan masyarakat saat memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jangan sampai masyarakat memilih pemimpin yang dibiayai cukong (pemodal), kaum kapitalis yang kejam. Karena jika memilih mereka, maka semua program kerakyatan yang menyentuh masyarakat terancam hilang. Kepentingan masyarakat Manado akan dikapitalisasi dan dikonfersi menjadi proyek-proyek. Kemudian, proyek itu dikerjakan konco-konco, sekutu atau rekan-rekan dari para cukong.
Pada akhirnya, pembangunan menjadi tidak berkualitas. Masyarakat sekedar menjadi obyek pemerasan atau sumber eksploitasi, sungguh sangat dikasihani kalau begitu. Berhenti memikirkan memilih calon Kepala Daerah hanya karena diberikan materi tertentu. Karena masyarakat tidak akan kaya dengan suap, politik uang, politik beras yang diberikan calon Kepala Daerah saat Pilkada. Begitu pula, masyarakat tidak miskin dengan menolak uang atau materi yang diberikan calon Kepala Daerah tertentu.
Berfikirlah maju, lebih optimis dan jadilah pemilih cerdas yang memilih calon pemimpinnya kerana visi misi. Dari program yang pro rakyat, komitmen yang ditunjukkan dan sepak terjang pengabdian, loyalitasnya pada masyarakat akan menjadi jawaban terhadap masa depan kepemimpinan daerah ini. Mau senangnya sehari, dua hari, lalu kesusahan selama 5 tahun?, kalau mau begitu, silahkan memilih calon titipan para cukong yang membagikan uang dan sambako (beras dan seterusnya).
Saran saya, sebaiknya menghindari memilih pemimpin yang kualifikasinya rendah seperti itu. Kasihan, harga diri dan wibawa masyarakat hanya dihargai dengan uang receh seperti itu. Jadilah kita duta-duta dan peternak yang cerdas, melakukan edukasi politik kepada masyarakat yang mungkin saja lupa tentang pentingnya kepemimpinan intelektual. Pentingnya kepemimpinan yang pro kehidupan masyarakat. Kita ingatkan agar segera kembali, jangan terhipnotis dengan calon Kepala Daerah yang dijadikan boneka bagi kapitalis.
Jangan sampai kita tergolong pemilih yang malas mikir. Atau telat mikir, yang mangkrak menjalankan peran strategisnya sebagai masyarakat. Semua kita masih punya kesempatan menimbang ulang pilihannya, sehingga tidak terjebak. Tidak dibodohi para pemodal, yang kebiasaannya menilai masyarakat hanya dengan uang atau materi. Betapa rendahnya kita semua, jika melegalkan, mendiamkan atau apatis (masa bodoh) dengan praktek politik transaksional seperti itu.
Jika mau daerah ini maju, maka hindari jebakan-jebakan demokrasi. Jebakan itu dibangun, dibuat kanalnya oleh mereka para pemilik modal yang hidupnya enak-enakan. Kini mereka tanpil disaat Pilkada Serentak, berlagak seperti para dermawan, membagikan uang dan beras atau Sembako. Padahal semua itu tidak gratis, mereka minta dipilih. Mereka minta balasan, tak lain adalah agar dipilih, dimenangkan sebagai calon Kepala Daerah. Sungguh sebuah drama yang lucu dan memalukan sebetulnya.
Termasuk di dalamnya praktek politik uang, bagi-bagi beras dan cara konsumtif lainnya. Berupa ajakan untuk memilih calon Kepala Daerah dengan bujukan tertentu adalah bagian dari demokrasi tipu-tipu. Demokrasi yang sejati, bukan seperti itu. Menghalalkan segala cara demi meraih jabatan dan kedudukan tertentu selain tidak etis, melanggar moralitas, juga tidak diperkenankan dalam agama. Jabatan itu amanah, sehingga proses meraihnya harus dengan cara-cara beradab.
Produk demokrasi tipu muslihat dengan cara memperjual-belikan suara masyarakat merupakan hal yang dilaknat Tuhan. Membujuk masyarakat agar memilih calon Kepala Daerah dengan uang, beras atau materi tertentu sebagai bertanda bahwa calon pemimpin tersebut menggadaikan idealismenya. Merendahkan derajat masyarakat, ia setarakan hak konstitusional masyarakat dan kedaulatan masyarakat setara dengan materi. Begitu rendahnya. Mengutamakan politik uang dan politik beras merupakan wujud demokrasi tipu-tipu yang akan menemui celaka dalam kepemimpinan nantinya.
Ajarkan masyarakat untuk tidak terhipnotis, tidak bergantung, tidak kecanduan, dan tidak mabuk dengan politik materialistik. Memang realitas utama dari tantangan demokrasi kita di daerah ialah hadirnya politik transaksional. Yang secara nyata mereduksi, menghilangkan kesadaran kritis masyarakat. Mereka akhirnya lebih mengutamakan duit atau materi dibanding dengan program politik kerakyatan. Inilah, realitas yang memiriskan. Tidak produktif, bahkan merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Narasi politik identitas juga patut diwaspadai. Karena hal itu tidak memperkokoh demokrasi, malah membuat demokrasi terdekonstruksi. Mengikis dan membuat demokrasi kita yang konstruktif menjadi tercerabut, rusak dan berubah menjadi konflik sosial. Sejatinya, demokrasi telah memberi ruang, mengapresiasi dan menghormati adanya perbedaan identitas (kemajemukan). Jangan hal itu dipertentangkan, diolah berlebihan, untuk dijadikan senjata dalam perang propaganda politik.
Sebab hal itu berpotensi mencelakai persatuan dan kesatuan masyarakat. Isu-isu politik identitas juga perlu secara berangsung-angsur diminimalisir dari panggung politik kita. Bagaimana tidak, alasan politik identitas dengan semangat yang parsial, bisa membuat pemilih menjadi fanatik buta. Sehingga menjadi over, mengadili, menghakimi, membuat stigma dan klaim-klaim yang menyesatkan pihak lain. Dari sinilah kemudian, benih-benih perpecahan sosial terlahir.