Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran dalam Cermin Sengkarut Oligarki

26 Juli 2020   09:09 Diperbarui: 26 Juli 2020   09:37 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik dinasti di Indonesia memang begitu tumbuh subur. Dimulai dari Ibukota Negera (Jakarta), lalu dikloning dan ditiru pemerintah daerah. Bukan di pentas politik, kalau kita cermati juga terjadi dalam promosi jabatan birokrasi. Pembagian kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk memperkuat hegemoni keluarga begitu terasa. Kolusi namanya, yang mana profesionalisme direduksi demi kepentingan family.

Sudah barang tentu dampaknya meluas. Kenapa Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Republik Indonesia (RI) Ir. Joko Widodo, yang lahir 1 Oktober 1987 menjadi viral dan ramai dibicarakan? Tentu kalau saja Gibran bukan anak pejabat publik, pasti tidak akan dibicarakan. Bila saja dia sekarang adalah anak seorang pengusaha mebel pasti terbebas dari tudingan politik dinasti.

Putra Sulung Jokowi tergolong berusia muda, seumur saya yakni 32 Tahun. Beruntung tentu sebagai anak Presiden mudah mengorbitkan diri dan diorbitkan para penjilat. Meski kompetensi dan pengalamannya memimpin masih minim. Gibran sebagai pengusaha yang jika digeluti serius, maka dia akan menjadi pengusaha sukses. Benar juga saran Bang Fahri Hamzah, bahwa 'Gibran mendingan jualan martabak'.

Gibran belum punya kemampuan membendung kritik dan pandangan publik yang original terlahir atas fakta-fakta yang ada. Di mana kapasitas Bapaknya memberi kemudahan dirinya menjadi calon Wali Kota Solo. 

Bayangkan saja, kalau Gibran hanyalah anak buruh, masyarakat ekonomi lemah yang tak punya posisi dalam struktur pemerintahan, elit partai politik tidak takut kepadanya. Konteks sekarang menguntungkannya, karena para pimpinan partai takut kepada Gibran, itu karena faktor Bapaknya.

Reputasi Gibran seorang diri belum ada apa-apanya dalam pusaran arus kencang persaingan demokrasi. Pilkada Serentak 2020 yang dihelat di 270 daerah, yakni terdiri dari 9 Provinsi dan 224 Kabupaten dan 37 Kota seolah-olah hanya Pilwako Solo yang ramai diperbincangkan. 

Bukan Gibran yang salah, bukan pula sistem demokrasi kita yang keliru dikonstrusi. Melainkan sisi etika dari Presiden Jokowi yang perlu kita ingatkan lagi.Idealnya, sebagai seorang Bapak, Presiden Jokowi mengingatkan anaknya agar tidak terburu-buru maju di Pilkada 2020.

Posisi Gibran bukan menjadi tabir dari gelapnya proses demokrasi yang penuh kompromi kepentingan. Beruntunglah Gibran terlahir di era pasca reformasi yang segala praktek demokrasi dilalui secara transparan. Keberadaan Gibran dalam Pilwako Solo bisa menjadi pintu masuk bagi publik dalam mengusut sengkarut dinasti politik di Indonesia. Dari Ibukota Negara sampai Provinsi dan Kabupaten/Kota, bahkan sampai Kecamatan atau Desa/Kelurahan, penerapan oligarki kekuasaan harus ditata ulang.

Ada kamuflase politik, perubahan atau rekayasa yang sering dipemerkan elit politik. Sampai lahir skema melawan kotak kosong di Pilkada (Pilwako) Solo, atau melahirkan calon boneka sebagai lawan dari Gibran juga merupakan bagian dari kamuflase politik elit. Sedari awal kita para pendahulu kita melawan otoritarianisme Orde Baru karena soal sentralisme kekuasaan. Sayangnya, kini generasi pasca Orde Baru malah kembali ke pola klasik yang otoriter sentralistik.

Otonomi daerah sudah memberi ruang kemerdekaan dan kemandirian dalam mengelola daerah, serta menjauhkan adanya monopoli kekuasaan yang sentralistik. Melalui kebijakan desentralisasi, tapi kini seperti terblokir atau disumbat nafas desentralistik. Pengambilalihan hak personal, hak daerah baik itu partai politik dan struktur pemerintahan masih dilakukan. Seperti melepas ular, yang kepalanya dilepas tapi ekornya masih di tahan di pusat pemerintahan. Oligarki parpol (partai politik) malah lebih mengganas.

Domain kewenangan para pengurus atau Ketua parpol di daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) nyaris tak ada gunanya. Di sinilah kelemahan sistem hierarki kekuasaan kita yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak punya kesadaran menjalankannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun