Terjadi dalam sejumlah diskusi, kita temukan adanya protes keras dan penolakan pada politik sentimentil. Dalam ranah politik memelihara sentimen juga penting.Â
Ada istilah politik sektarian yang menonjolkan kekuatan kelompok tertentu, lalu mereduksi serta meremehkan orang lain.Ada negatif sentimen dikembangkan dalam politik.Â
Meski begitu, ada sisi positifnya. Tentu untuk perlakukan atau sesuatu hal yang bersifat membangun. Contohnya saja, upaya membangun sentimen dalam momentum politik.
Mengajak orang-orang disekitar memilih figur dengan mengedepankan program (narasi) membangun yang jelas. Sentimen positif seperti itu diperlukan dalam menghidupkan wacana politik. Membuat isu sentimen ini menjadi seperti sampah karena kebanyakan dipakai untuk mengembangkan isu-isu yang memecah-belah persatuan masyarakat.
Penggaran isu ini sudah banyak kita temukan pada praktek politik kita. Seperti yang rasional pilih figur rasional, merasa lebih Pancasilais pilih Pancasilais, yang cerdas pilih yang cerdas, yang Hebat pilih yang Hebat, pengusaha pilih pengusaha, dan seterusnya.Â
Sejauh tidak ada ajakan merusak, menebar fitnah atau menjatuhkan kelompok masyarakat lainnya.
Yang tidak tepat dan cederung mengancurkan demokrasi adalah kampanye provokasi dan adu domba. Jangan pilih kelompok politik tertentu.Â
Jangan pilih figur dari komunitas atau agama tertentu. Pendekatan komunikasi politik seperti ini tidak edukatif, membuat retak solidaritas sosial. Dan efeknya terjadi penghancuran demokrasi secara sistematis.
Tentang sentimen ini berkaitan erat dengan sikap kepekaan yang menyelimuti soal 'keberpihakan'. Orang atau sekelompok orang yang memiliki emosi yang berlebihan. Tak mampu dikanalisasi dan dikontrol sehingga berujung petaka bagi orang lain atau dirinya sendiri.
Selamat menunggu isu-isu segar yang lebih mengisi dan melintasi diskursus politik kita di tanah air. Pilkada Serentak di tengah kedaruratan kesehatan, bisa jadi menambah mutu demokrasi. Atau malah menarik mundur roda demokrasi menuju perpecahan masyarakat.
Padahal suksesi politik itu bukan sekedar saling menaklukkan. Melahirkan dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain, bukan itu. Tapi bagaimana mewujudkan tatanan bermasyarakat yang lebih maju dan berada. Di era Pilkada politik identitas sukar rasanya dihilangkan. Politik identitas tetap dalam nafas demokrasi, yang terpenting adalah melahirkan kebersamaan. Tidak perlu saling mempertentangkan.
Bermunculan diksi seperti politik aliran juga memang kalau dipandang dalan prespektif politik demokrasi menjadi biasa saja. Yang patut dihindari yaitu politik saling mempermasalahkan, mengkerdilkan dan menjatuhkan antara sesama masyarakat. Kalau politisi dan masyarakat memahami politik yang luas, tidak perlu kagetan dengan isu sentimen politik. Biarkan saja tugas pemerintah mengarahkan dan mendisiplinkan isu semraut.
Selama tidak ada isu 'membunuh' pihak lain, menjual ide atau visi dan keunggulannya tidak mengapa. Malah yang seperti itu semangatnya perlu kita support.Â
Kita cukup yang mengehentikan retorika politik yang saling menjatuhkan. Melontarkan kebusuhan dan menyebar fitnah terhadap yang lain, itulah yang berbahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H