rakyat, rasa was-was dan bahkan melahirkan kepanikan, membuat banyak pihak tidak rasional melihat situasi objektif.
Ada oknum dan pihak pemburu kepentingan. Mereka yang terbiasa memanfaatkan situasi, mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Kondisi darurat kesehatan di Indonesia jangan dipandang satu sisi saja. KegusaranAlhasil, gejala dan peristiwa yang perlu dipandang dengan persepsi menyeluruh menjadi tidak dipelajari dengan selektif. Hasilnya, tak jarang kedaruratan membawa petaka. Boleh jadi akan terlahir kedunguan massal. Atau kalau tidak, anggap saja publik menjadi abai dengan hal-hal yang sebelumnya dinilai substansi, urgen, sacral, dan berdampak luas. Menyebabkan kita tidak lagi berfikir sehat (rasional).
Kewarasan di era pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) seperti terdegradasi. Nalar terbelengguh, ditutupi tirai, menjadi misterius dan rahasia. Misalkan saja contoh kecil soal dana operasional pencegahan dan penanganan Covid-19 di daerah, besarannya tidak transparan di buka ke publik. Estimasi anggaran yang diperuntukkan membeli APD, Alkes dan Sembako untuk mengantisipasi kemiskinan rakyat, jarang kita temui detailnya disampaikan ke media massa.
Realitas yang serba social distancing ini boleh saja dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Para pengusaha APD, Alkes dan penumpuk atau pengusaha yang senang memonopoli Sembako sebelum wabah Covid-19, tentu diuntungkan. Mereka mendapatkan kesempatan emas disaat Covid. Dimana semua orang di era pendemi memandang dinamika interaksi dengan standar dan perspektif ''kedaruratan''.
Walau hal-hal darurat itu belum terlihat nyata dan total dalam hal penanganan pemerintah. Kelihatannya lebih besar pasak dari pada tiang. Maksudnya, isu yang besar dan intens disiarkan media tentang situasi darurat kesehatan, sampai rakyata disuru stay at home. Tidak sebanding dengan program pemerintah untuk mencegah penyakit menular Covid-19 ini. Â
Distribusi isu, hegemoni media massa terhadap isu pendemi rupanya berjalan massif. Sehingga framingnya efektif, sebagian rakyat menjadi gelisah dan terganggu aktivitas sosialnya. Dapatkah pemerintah melakukan pertemuan sektoral, melibatkan Dewan Pers dan organisasi pers lainnya untuk melahirkan formulasi tentang model, siklus pemberitaan di era Covid-19?. Sajian informasi Covid yang massif juga mengganggu ketenangan publik.
 Para pembajak bencana tentu ada disekitar kita. Mereka aktif memainkan irama, mengambil manfaat (keuntungan). Sudah pasti mereka senang ketika rakyat panik, membeli dan mempercayai apa saja yang diprovokasi. Kondisi ini mesti dinetralkan, direcovery pemerintah. Jangan pemerintah hadir malah berposisi seperti support ketidaknyamanan publik.
Kita berharap pemerintah tidak hadir menyulut dan memacu ketakutan kepada rakyat. Pemerintah menenangkan, memberi solusi agar rakyat tak gusar menyikapi situasi di tengah pandemi Covid-19. Praktek Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan, ancaman pengangguaran meningkat.
Diksi Presiden Jokowi tentang 'berdampingan dengan Covid-19' juga dapat ditafsir sebagai warning betapa hebatnya pendemi. Dari upaya melawan menjadi 'bersahabat' berdampingan dengannya. Padahal kalau kita menyadari itu, memang selama ini kita telad berdampingan dengan pandemi, penyakit dan ancaman bahaya. Maka dapat dipastikan, ungkapan melawan Covid-19 merupakan sikap offensive.
Pemerintah Indonesia seperti salah strategi diawal. Akhirnya kini rubah siasat, beralih dari menyerang menjadi devensive. Mungkin dapat ditafsir ini soal taknis, tapi minimal menjadi pelajaran tentang sikap. Kedepan tak boleh lagi pemerintah menjadi inkonsisten. Dalam teori penanganan masalah, harusnya pemerintah mengajarkan rakyat soal sikap istiqamah (berpendirian kuat). Sikap tidak fokus hanya membuang-buang waktu.
Sejatinya pemerintah harus melakukan pengembangan (development) ekonomi, sembari mengendalikan meluasnya wabah Covid-19. New normal hanya sekedar membawa kesan, menjadi pintu masuk pelaksanaan Pilkada Serentak dilaksanakan 2020. Terlampau politis dan mudah terbaca. Kebijakan dan keputusan pemerintah lebih dominan mengarah pada manuver politik. Bukan berpangkal pada keselamatan rakyat dan kemanusiaan.