Kerap terjadi hal-hal yang diluar ketentuan, minimalnya seperti ada semacam praktik melawan atau ketaatan yang lemah terhadap larangan. Apalagi hanya bersifat imbauan. Mengamati situasi pandemi Corona Virus (Covid-19) yang berkembang, rasanya sulit kita melahirkan proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berkualitas.
Betapa tidak, kesuksesan atau keberhasilan Pilkada itu salah satunya harus didukung dengan angka partisipasi pemilih yang memadai (tinggi). Kecurangan terminimalisir, intervensi dan intimidasi tidak ada sama sekali, dipangkas. Sulap-menyulap hasil suara juga tak dilakukan. Semua itu bukan hal mudah untuk diwujudkan dalam situasi mewabahnya Covid-19.
Jika benar pemerintah dan penyelenggara Pemilu ngotot melaksanakan Pilkada Serentak 9 Desember 2020, diprediksi Pilkadanya gagal alias tidak berhasil. Kenapa tidak berhasil? karena yang hendak dicapai yakni partisipasi publik sukar rasanya terpenuhi.
Kini masyarakat kita tengah menghadapi dan meratapi nasib sedih bercampur takut pada covid-19. Bila Pilkada terpaksa dihelat Desember 2020, apakah bakal calon Kepala Daerah siap bertarung? Kemudian, apakah masyarakat siap full dan loyal mengikuti jadwal tahapan yang ditetapkan KPU dan Bawaslu?
Belum lagi, apakah para bakal calon Kepala Daerah juga dapat maksimal dalam melakukan kampanye kepada masyarakat? Bagaimana metodologi dan media yang digunakan para bakal Calon Kepala Daerah dalam mensosialisasikan visi dan misi mereka? Tak mudah memang. Banyak narasi besar yang akan tercecer.
Tak hanya itu juga, secara bersamaan spirit kerja para penyelenggara Pemilu juga akan berbeda. Dalam situasi normal, sebelum wabah covid-19 saja problem yang ditemui dalam Pilkada begitu banyaknya. Negara kita dalam kondisi mengalami bencana nasional. Kemanusiaan yang mau kita kedepankan di sini, bukan politik parsial.
Masyarakat akan menjadi dilema. Tentu bila Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020, karena umumnya tahapan Pilkada itu dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat. Berkerumun, hal ini meminimalisasi anggaran penyelenggara Pemilu dan juga energi mereka tidak banyak terkuras. Dari pada sosialisasi door-to-door yang dilakukan.
Selanjutnya, jika pada hari-H pelaksanaan Pilkada tiba, diskursus dan konsepsi saja sukar mengaturnya. Biasa, praktik memang "kejam", tak semudah yang diucap. Mengatur agar tertib dan disiplin tidak semudah membalikkan telapak tangan.Â
Saya ragu menghindari kurumunan di TPS terlaksana dengan baik. Kita akan memerlukan tambahan waktu saat pencoblosan, rekapan suara di TPS, sampai dengan tingkat PPK. Kalau ini dilakukan, saya yakin banyak yang "kumabal" dan "kaki gatal" alias menjadi pembangkang.
Mereka masyarakat (tim sukses), kelompok berkepentingan dan aktivis pro demokrasi akan melakukan pengawasan ekstra. Lalu kemudian, lahirlah kerumunan. Secara berlahan dan kolektif, pelarangan terhadap social distancing dilanggar. Protokol kesehatan pun tak dihiraukan. Karena semua entitas parpol tak mau dicurangi. Alhasil, berlahan bisa muncul militansi menabrak "larangan" secara massal.