Jarod saya bercakap, beliau dikenal tulus dan tak menuntut imbalan disaat membantu para juniornya. Dalam beberapa hajatan penting, beliau berpandangan objektif, tidak mau berpihak pada sesuatu yang berdampak politik parsial. Memecah  belah dan saling menjegal, sangat diprotesnya.
Bermula dari pertemuan dua hari lalu. Saya bersama senior, salah satu aktivis muda yang menurut saya idealis. DiPerbincangan kali ini ringan, soal Bandit dan Badut. Hal sederhana yang coba kita potret dari perspektif sederhana pula. Sebagai senior ia mengingatkan, bahwa suatu kelak kita akan menemui kaum munafik. Di depan kita mereka baik, namun di belakang mereka menikam.
Tabiat yang selalu dilakukan mereka para pencari uang receh, kaum pengecut, tambah senior. Tapi juga, ada manfaatnya. Karena dari proses penzaliman dan penghianatan membuat kita yang mungkin menjadi korban akan belajar. Itulah madrasah. Mengambil hikmah, paling minimalnya kita belajar selektif memilih kawan.
Saya menyambut celotehan senior, dan sedikit menyisipkan kalimat. Biar kita juga merasakan pahit dan nikmatnya ditelikung kawan atau senior. Kita pun tertawa, sambil meneguk kopi susu.
Lanjut cerita, senior ini menyebut tak petarung yang terlahir instan. Belajar, mati berkali kali. Terbentur, tembut, terbentur, kemudian terbentuk, tambah senior. Baginya nyaris tak ada orang tulus di dunia, semua hanya semu dan fata morgana. Keabadian di dunia tidak ada. Saya menyambut dengan nada berkelakar, berarti kita sedang berada dalam panggung ilusi?, dia tertawa dan menjawabnya seperti itulah deskripsi kehidupan.
Di Jarod tempat kita berbincang siang itu ramai. Seperti biasa, suasana terik. Belum berhenti disini, senior bertubi-tubi memberi nasehat. Melalui insiden dan tragedi, ia mengatakan akan membuat kita menjadi figur yang survive. Jangan menjadi seseorang yang cepat putus asa. Tantangan haruslah diubah menjadi peluang.
Menariknya, senior memberi analogi soal keindahan. Baginya, keindahan itu soal cara pandang saja. Belum tentu sesuatu hal yang indah dan terbaik menurut kita, indah atau terbaik menurut orang lain. Seperti itu juga sebaliknya.
Terdiam sejenak. Lantas saya kembali mengajukan pertanyaan, apakah kejahatan harus dibalas?. Senior berbisik, menyebut balas saja. Membalas dengan mengikhlaskan semua itu. Sambil kau tetap mengingatnya, kata senior. Mengingat agar kita tidak terjatuh di lubang yang sama.
Mengambil pelajaran dari semua peristiwa, itulah tandanya kita sebagai orang-orang yang berfikir. Saya lalu menangkap secepat kilat, memberi interupsi bahwa yang utama adalah kita belajar sportif. Menerima realitas secara ikhlas, Allah SWT memberi peluang kepada semua orang, tinggal menunggu waktu saja.
Ada kondisi dimana kita harus tersenyum meski terdzolimi. Di belahan dunia ini tak ada pertengkaran yang melahirkan perdamaian. Kecuali upaya rekonsiliasi yang bersifat memaksa, tak akan ada ketulusan lagi dalam situasi yang abnormal.
Pada akhirnya, saya berkalkuasi dalam renung bahwa ternyata di alam raya ini ada bandit dan badut. Masing-masing mereka punya peean berbeda. Bekerja sama, konspiratif dan saking mengeksploitasi. Intinya sama-sama saling menguntungkan. Atas kepentingan itu, relasi kebersamaan dibangun.