DESAKAN dan orasi kesetaraan (egaliter) sosial, menuntut keadilan di ruang politik akan dianggap penghalang. Dalam ruang demokrasi, kesetaraan menjadi tema agung dalam perbincangan penegakan hak asasi manusia. Kesetaraan hadir untuk menghapus penindasan dan diskriminasi.
Sayangnya, kesetaraan, keadilan, perilaku merobek-robek keadilan hanya sekedar menjadi lipstik dalam berdemokrasi. Praktiknya, semua atas dasar kepentingan. Diskriminasi dipertontonkan, bahkan digeser seolah menjadi Tuhan baru dalam politik. Kadang pikiran sederhana, subyektivitas dipertontonkan.
Kesamaan derajat menjadi, hanya menjadi keperluan argumentasi di ruang publik. Kami pemenang, maka kamilah penentu, kemudian urusan dan kepentingan kami harus didahulukan. Ketimpangan mulai bermunculan. Bermuara dari ketidakadilan pikiran. Kemudian, lanjut mencemarkan perilaku para pemegang kekuasaan. Pernyataan tentang desentralisasi kesejahteraan pun sama nasibnya, hanya menjadi olahan bibir para penguasa.
Yang terwujud malah ketidakadilan. Kesejahteraan sosial dibagikan secara tidak merata. Sesuka hati penguasa. Terserah mereka, kadang yang diprioritaskan dalam kebijakan publik adalah keluarga. Gerbong politik, teman atau koneksi-kenoksi terdekat yang lebih dominan karena hubungan kepentingan personal.
Sudah seperti itulah gambaran tingkah laku politisi kita. Elit pemerintah yang diberi harapan lebih oleh rakyat juga belum maksimal memberi pelayanan. Kita membutuhkan waktu lama untuk mewujudkan kesetaraan. Salah satu perangkat yang perlu tetap dilestarikan adalah semangat saling mengingatkan.
Jangan berhenti disini. Serumit dan beragam apapun problem bernegara, semua elemen rakyat harus diberi pegangan dengan mengingatkan antara sesama. Tak boleh anti-kritik. Pemerintahan dari era ke era memang punya kecenderungan paradigmatik berbeda, dan itu biasa terjadi. Sehingga jangan teriakan kesetaraan kalian anggap penghalang.
Berilah ruang pada rakyat bicara kesetaraan dan keadilan dalam perspektif kemanusiaan. Tidak etis suara-suara tentang kesetaraan dibuang di tong sampah, menjadi barang kusam. Kesetaraan harus menjadi barang mewah, tiap saat dibicarakan. Sebab, suatu ketika jika keadilan diterapkan secara kontinue, maka suara teriakan kesetaraan mulai menurun.
Jika tidak diingatkan, ke depan kita berteriak kesetaraan dianggap sebagai penghalang. Orang mengingatkan pemangku kebijakan dituduh barusan sakit hati. Kritik atau koreksi dikira wujud dari sentimen politik. Sungguh berbahaya kalau begitu, demokrasi menjadi instrumen yang dimanfaatkan pemerintah saja akhirnya.
Kesetaraan kini telah menjadi barang mewah dan mulai sulit dijumpai. Yang ada malah kita temui keraguan soal kesetaraan sosial direalisasikan secara utuh. Nilai dan tujuan kata kesetaraan menjadi pemanis, menegaskan pengukuhan terhadap seseorang yang berlaku adil pada situasi sosial uang universal. Padahal, pada kenyataannya kebohongan yang dihadiahkan ke publik.
Sampailah begitu, kesetaraan menjadi penghalang bagi mereka yang melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara anti kesetaraan. Bergeser nilainya, bahkan diberangus. Akhirnya kesetaraan sekedar digunakan dalam retorika politik semata. Mereka yang nyaman dengan politik kekeluargaan dan politik kelompok, risih, risau dengan teriak kesetaraan sosial. Mereka merasa dihalau dan dilawan dalam konteks menjaga kepentingannya.