Untuk konteks ini, membaca pikiran Prabowo Subianto bahwa setiap perbedaan pendapat ataupun pertentangan politik hendaknya diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Logika penyelesaian masalah ini sangatlah relevan. Tidak ada masalah dalam politik yang tak dapat diselesaikan.
Kini para politisi malah tergeser pada cara kegilaan. Bukan lagi dengan cinta dan politik profetik. Melainkan kombinasi ideologi politik Barat yang mengutamakan menang dalam pertarungan politik. Solusinya, mereka mengadopsi praktek politik kegilaan. Yaitu menghalalkan segala cara agar menang.
Kegilaan itu berawal dengan kemarahan. Dan biasanya, berujung dengan penyesalan. Idelnya politisi menjadi agen yang rasional pikirannya. Politisi itu punya standar keadaban berpolitik. Mereka menjadi acuan masyarakat umumnya. Kalau kehilangan pedoman etika dan moral, hilanglah kewibawaan.
Karena kewibawaan itu terbangun atas perilaku-perilaku mulia. Perbuatan terpuji. Bukan soal gaya hidup mewah politisi. Rekayasa diri, menjadi jaim, dan tampil menjaga citranya. Bukan kewibawaan itu namanya. Kewibawaan itu pancaran dari dalam. Cahaya sejati dari seorang pemimpin, tanpa rekayasa.
Yang hilang dalam panggung politik kita termasuk keteladanan. Kiranya para politisi kembali mengambilnya. Keteladanan yang mulai tergerus karena politik uang. Cara berpolitik yang amoral. Masyarakat membutuhkan politisi yang menjadi teladan, lahir dan batin.
Meski ada, tidak banyak politisi yang sukses memberi keteladanan saat ini. Keteladanan itu menyatu dalam kewibawaan, tidak bisa dibisa. Publik menjadikan seorang politisi sebagai teladannya karena ia dinilai berhasil menunjukkan kewibawaan. Layak ditiru. Kebiwaan baik ucapan, keberpihakan dan sikap.
Cinta, politik dan kegilaan sebetulnya satu paket. Jika kita mencapture dari aspek gagasan, saling berkait. Pada konteks praktis, memang sering melahirkan persoalan. Seyogyanya, cinta politik bersama kegilaan menyatu untuk menopang pembangunan. Kegilaan yang merupakan kewarasan yang berubah wujud ini, kalau dikelola akan berbuah manis.
Sulit rasanya kita melahirkan harmoni. Ketika cinta politik lalu kegilaan berbentur, atau terbentur. Seperti sistem masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan Karl Marx, sukar terwujud. Masyarakat proletar dan borjuis akan melakukan dialektika hingga melahirkan masyarakat tanpa kelas. Ujungnya, kelas tetap saja ada.
Bermula dari kata-kata, cinta politik dan kegilaan terlahir. Perlu adanya keseimbangan, irama yang setara. Ketimpangan harus dijauhkan. Cinta dalam politik harus diikat betul. Nafas politisi harus penuh cinta, yang kemudian mengilhami masyarakat agar hidup rukun. Dengan begitu, kegilaan yang negatif dan kotor, hilang dari aktivitas atau praktek para politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H