DALAM dimensi yang luas, kemajuan harus terus dipacu. Seiring bergeraknya perkembangan, ada hal penting yang patut dipertahankan. Itulah local wisdom (kearifan lokal). Kalau kearifan lokal sebuah negeri hilang, maka akan terlahir generasi tanpa identitas.
Hilangnya kebudayaan. Seperti 'ayam tanpa kepala' dalam istilah Prof Jacob Elfinus Sahetapi. Ucapan yang memiliki nilai filosofis, meski Prof Sahetapi mengalamatkan itu kepada keteladanan politisi. Tapi, dalam konteks kebudayaan kita juga mulai redup keteladanan.
Ketahanan budaya menjadi begitu penting. Artinya, jika manusia Indonesia menjadi tak berbudaya, berarti tak ada bedanya kita dengan hewan. Amat pentingnya kehidupan berbudaya itu bagi kita. Sementara tantangan kita dalam menjaga dan mempertahankan budaya ditengah gempuran globalisasi tidak mudah.
Konteks Indonesia saat ini bukan lagi imperialisme kultural (penjajahan budaya) memasuki gerbang. Melainkan telah kedalam pekarangan masyarakat. Bahkan kadang mengganggu kenyamanan suami dan istri ditempat tidur. Implikasi dari penjajahan budaya ini begitu terasa.
Sampai dikasur dan dampur pengaruhnya dirasakan. Contoh perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan juga menjadi bagian dari contoh penjajahan cultural yang masuk melalui era digital. Pengaruh media sosial (Facebook, Twitter, IG, dan lainnya).
Ekses negatifnya betul-bentul mengganggu kenyamanan kita. Imperialisme cultural kalau dipetakan, bisa menjadi bagian dari infiltrasi kebudayaan barat (Asing) terhadap budaya kita di Indonesia. Kita yang terbiasa mengedepankan adab, solidaritas atau gotong royong, lambat laun menurun tradisi itu. Â
Masyarakat modern rupanya lebih nyaman menggenggap handphone. Bermain game atau mengakses sosial media ketimbang saling silaturahmi. Saling kunjung mengunjungi, tegur sapa dan memberi sesuatu meski dalam berkekurangan, jarang terlihat lagi.
Padahal dahulu, itu menjadi kearifan lokal kita orang Indonesia. Generasi hari ini ditinggalkan warisan leluhur dengan hidup apa adanya. Bukan ada apanya. Begitu natural, tidak muluk-muluk, tidak ribet. Masuknya kebudayaan Asing, membuat kita kehilangan pegangan berbudaya.
Di kampus atau sekolah, mereka lebih cenderung menggapai proses yang instan. Kebiasaan membeli buku, perpusatakaan pribadi, membeli buku dan membaca rasanya kurang terlihat. Mereka senang mengakses internet untuk mencari tugas yang diberikan dosen atau guru.
Keakraban sosial pun terancam. Kita dicekoki informasi destruktif, sehingga pergaulan sosial penuh kecaman. Praktek main hakim sendiri, watak anarkisme diambil sebagai pilihan untuk selesaikan masalah. Tanpa sadar, peradaban kita ditarik mundur ke zaman bar-bar.
Zaman konservatif, primitif, yang segala pendekatan sosial dilakukan dengan mengutamakan kekuatan fisik. Hukum rimba diberlakukan, hukum formal diabaikan. Segeralah kembali pulang kita semau. Rebut ulang kearifan lokal yang nyaris punah, warisan agung para leluhur.