TAK ada yang kekal di dunia ini. Begitulah siklus kehidupan manusia, ada yang mendapatkan kekuasaan. Ada pula mereka yang mengejar kekuasaan, pasif menerima takdir. Bahkan, ada yang tiba-tiba jatuh dari tahta kekuasaan. Pokoknya beragam nuansa kehidupan ini. Semua manusia punya fase dalam hidup. Sebagian berjaya, sebagian kesusahan secara ekonomi.Â
Yang kaya raya, hidup mewah tapi hatinya tertutup dengan kesombongan. Ada orang kaya dermawan, tapi tidak banyak. Kebanyakan menutup mata menyaksikan penderitaan masyarakat termarginal. Unik, ada kesederhanaan, kemewahan dan kesombongan yang kita lihat dipamerkan. Seperti itulah realitas kehidupan. Kadang membahagiakan dan mengecewakan.Â
Sekuat apapun kekuatan manusia pasti akan menyentuh titik paling rendah. Siklus kehidupan tidaklah statis. Apa gunanya kekuasaan, kepintaran dan pengalaman yang luar biasa. Ketika semua tidak diabdikan untuk banyak orang dan sang khalik, maka sia-sialah. Ikhtiar dan tidak takabur dalam hidup menjadi penting.
Sebagai makhluk sosial yang dalam istilah Aristoteles disebut zoon politicon, kita memerlukan orang lain. Yang hidup sendiri di dunia ini hanya Dewa, kita manusia bermasyarakat. Guna menjaga relasi itu, berarti individu-individu perlu berada dalam kebersamaan. Thomas Hobbes pun menyebut manusia dengan istila homini lupus.
Ada kesalehan sosial. Dalam pandangan eksistensi sosial, manusia perlu yang namanya modal social. Bahwa manusia melakukan amal soleh itu untuk kebaikan dirinya. Dengan amal kebaikan tersebut atau kesalehan sosial, manusia akan tenang jiwanya. Terminimalisir dan terhindar dari kekacuan saat berinteraksi di dunia.
Sampailah kita pada fase hidup bernegara. Membaca pemikiran J.J Rousseau, masyarakat disebutnya perlu melahirkan kontrak sosial. Yang umumnya kita menyebut konsensus. Interaksi bernegara tentu kita diatur dengan konstitusi. Segala urusan publik, dan kadang privat dikuasai atau dikendalikan Negara.
Sejumlah literatur pun menjelaskan tentang kesalehan ritual dan kesalehan sosial istilah yang pernah dipopulerkan KH Ahmad Mustofa Bisri. Pemikiran baik itu menjadi penuntun dalam hidup bermasyarakat. Kita menarik contoh dalam ajaran agama Islam misalkan, kita mengenal bagaimana kita diajarkan menjaga hubungan.
Baik hubungan manusia dengan Allah, sang pencipta. Hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Ketika keharmonisan itu kita dapatkan, maka perjalanan kehidupan kita lebih bermakna dan esensial.
Terkait apresiasi kita terhadap kekuasaan, tak ada yang abadi. Yang namanya kekuasaan di dunia itu temporer, tidak absolut. Artinya apa, hal ini mengingatkan kita agar tidak tinggi hati. Tidak bersikap melangit, tapi membumi. Ketika menjadi pemimpin ingatlah tugas utamanya mengabdi.
Kolaborasi adalah kunci keberhasilan pemerintahan. Kunci kemajuan masyarakat tumbuh dari tradisi kolaborasi, bukan kompetisi. Kadang kala persaingan membuat individu ditengah masyarakat mengabaikan kolektifitas.
Refleksi penting dimana kita manusia semuanya akan kembali ke haribaan. Menjadi renungan agar terus-menerus membuat kita ingat, yang diatas tampuk kekuasaan akan menjadi rakyat biasa. Seperti mata rantai, kehidupan sosial akan selalu dipergilirkan. Yang belum memimpin berpeluang menjadi pemimpin.