Bukan berobsesi mengetahui banyak hal, tapi tidak tuntas. Lalu berlagak seperti pakar yang serba tahu. Kepakaran tereduksi karena juga kebiasaan tersebut. Terjadinya hegemoni atau penguasaan intelektual.
Lain lagi problemnya, terkadang para pakar mengarahkan kepakaran bukan pada pengabdian. Harusnya para pakar mengkontribusikan keahliannya itu dengan pengabdian kepada masyarakat. Ladang pengamalannya adalah memberi diri kepada masyarakat.
Jangan semua kepakaran juga digadaikan. Sebagai wujud otokritik, kepakaran hilang karena seringnya pakar memanfaatkan kepakaran untuk orientasi profit. Keilmuan menjadi sekedar barang dagangan.
Bila terus dilakukan seperti itu, yakinlah para pakar akan hilang. Keberadaan mereka diganti 'dukung kampung'. Lihat saja gejala sekarang ini. Dokter yang mengobati penyakit saja kadang persaingan mereka sudah bukan sesama dokter. Melainkan dukun atau paranormal. Â Â
Pengetahuan mistik dalam situasi runtuhnya kepakaran ini, membuat kehadiran mereka diperlukan paranormal begitu berharga. Apalagi, supranatural dan spiritual sebagai sesuatu yang diyakini semua pemeluk agama. Legitimasi mereka ditengah masyarakat pun diakui.
Maka berhati-hatilah para pakar seperti Guru Besar dan jebolan institusi pendidikan formal. Bisa jadi seperti para konsultan politik, tukang survey, pakar politik, kalau tak mampu menjaga trust maka akan dikalahkan paranormal yang tau menerawang masa depan.
Paranormal pandai meramal. Kalau ahli politik tidak akurat membaca dinamika politik, masa berpeluang kalah dengan tukang ramal. Seperti itu pula ancaman bagi pakar dibidang keilmuan lainnya. Suatu ketika jika professional dan konsen, maka tercerabut kepakarannya. Dikalahkan.
Tanda-tanda perkembangan seperti ini sebetulnya mengkhawatirkan. Bukan lelucon untuk ditertawakan, tapi ancaman terhadap ilmu pengetahuan ilmiah. Mereka yang berstudi di Perguruan Tinggi, boleh saja kalah bersaing dengan para 'tukang santen' yang bersemedi di gua-gua.
Kita berharap kompetisi menjadi berperikemanusiaan. Setara dan sesuai kebutuhan zaman. Semua kebaikan bergerak pada porosnya. Para pakar pun begitu, kembali pada zonanya. Menjaga otentitas, marwah dan ranahnya, tidak perlu keluar jalur kepakaran.
Karena ketika semua berjalan tertib. Perubahan kita menuju pada perbaikan peradaban, bukan penghancuran. Kita berlomba-lomba untuk kebaikan. Yang pakar tetaplah menjadi pakar, menggeluti kepakarannya.
Publik pun begitu, harus meningkatkan kepercayaannya pada pakar. Pakar akan punah kepekarannya kalau tidak mendapat pengakuan dimasyarakat. Akhir kata, kepakaran harus ditopang, diberi apresiasi. Keliru juga kalau kepakaran hanya mau dikomersialisi.Â